Rabu, 13 Juli 2011

REVITALISASI MUSEUM

A. DEFENISI REVITALISASI MUSEUM
Revitalisasi adalah upaya untuk memfungsikan kembali/memvitalkan kembali/membenahi kembali suatu kawasan, bangunan, atau bagian kota yang dahulu pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas. (Laretna, 2002)
Dalam arti harfiah Revitalisasi yakni “menghidupkan kembali”, maknanya tidak sekedar mengadakan/mengaktifkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tetapi menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya, menyesuaikan dengan kondisi baru, semangatnya dan komitmennya. Kondisi Indonesia telah banyak berubah dan karenanya memerlukan adanya sistem penyuluhan yang “baru”. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Intervensi fisik
Intervensi fisik adalah ikut campur baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai urusan dalam negeri (KBBI). Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, dalam hal ini fasilitas utama yang harus menjadi perhatian adalah ruang pamer tetap dan temporer, ruang administrasi ketatausahaan, auditorium, toilet, fasilitas untuk lansia, cacat, dan balita, ruang medis (PPPK), website/internet. Selain itu fasilitas pendukung luar gedung, seperti antara lain perpustakaan, cafe/souvenir shop, panggung terbuka, guest house dan dalam gedung seperti peringatan dini darurat, emergency exit door, locker room, CCTV dan hotspot juga perlu dirumuskan sebagai pengawalan revitalisasi museum.


B. MANFAAT, DAMPAK, DAN SASARAN REVITALISASI
Kebijakan revitalisasi museum di Indonesia bermanfaat untuk meningkatkan pengembangan museum dan memperkenalkan museum kepada masyarakat luas.
Dampaknya diharapakan dapat meningkatkan pemahaman mengenai benda- benda yang terdapat di dalam museum di samping meningkatkan pendapatan Negara maupun swasta. Revitalisasi museum diharapkan dapat mewujudkan kesadaran untuk menempatkan kembali museum sebagai pilar mencerdaskan bangsa, memperteguh kepribadian bangsa, dan memperkokoh ketahanan nasional dan wawasan nusantara.
Sasaran yang dituju adalah:
- seluruh komponen penyelenggara dan pemangku kepentingan di semua aspek dari museum.
- Dapat turut meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara.
- Terwujudnya museum yang memiliki kualitas standar baku sebagai saran edukasi dan rekreasi serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Museum menjadi sebagai sebuah lembaga yang strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkokoh kepribadian bangsa, meningkatkan ketahanan nasional serta internalisasi wawasan nusantara.
- Terwujudnya museum yang representatif sebagai media pelestarian dan pusat informasi budaya
- Terwujudnya enam poin bidang revitalisasi museum yang disepakati meliputi fisik, manajemen, program, jejaring, pencitraan, dan kebijakan. Sehingga baik dari bidang fisik yakni mencakup fasilitas utama (tata ruang), kemudian pengaturan manajemen yang terpadu, pelaksanaan program – program secara konstan dan sinkronik, terpancarnya pencitraan museum yang diharapkan maupun kebijakan dalam proses revitalisasi museum dapat terlaksana dengan baik.


C. TUJUAN REVITALISASI MUSEUM
Sebelum menuju pada tujuan revitalisasi museum, perlu diketahui siapa saja yang berperan dalam revitalisasi museum. Berikut adalah peran – peran yang diperlukan dalam proses revitalisasi museum.
• PERAN PEMERINTAH (Pusat, Propinsi, Kebupaten/Kota): Membuat kebijakan, memfasilitasi, mengatur, menggerakkan, serta memonitor dan mengevaluasi.
• PERAN BADAN PELESTARI, PENGELOLA DAN PENGEMBANGAN MUSEUM: Memelihara, menjaga perawatan setiap koleksi museum, meningkatkan pengunjung, melaksanakan sosialisasi terhadap masyarakat.
• PERAN PENGUNJUNG: Menjaga keaslian setiap koleksi (tidak ada perusakan terhadap koleksi – koleksi), membantu badan pelestari dan pengembangan museum untuk merawat, menjaga keadaan museum khususnya pada setiap koleksi, mengembangkannya ( salah satu cara dengan mempublikasikannya pada umum agar semakin banyak pengunjung yang berkunjung ke museum), dan memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat.
• PERAN KOMUNITAS : mengumpulkan orang – orang untuk berminat mengunjungi museum, membantu pemerintah mensukseskan program revitalisasi museum dengan mengkemas museum menjadi tempat yang berwahasa sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan rekreasi.
Sebagai pusat pendidikan, museum berfungsi sebagai salah satu pusat kegiatan belajar. Belajar bukan hanya diperoleh di sekolah formal tetapi juga dalam keadaan informal. Seseorang atau kelompok dapat belajar lebih santai dan nyata. Bila di sekolah atau akademika pendidikan formal, pengajar hanya dapat memaparkan mengenai sebuah materi secara teoritis, di museum sebagai pusat pendidikan, merupakan pusat kegiatan belajar yang praktis bahkan pelajar akan lebih memahami mengenai suatu benda, ketika ia melihat secara langsung bentuk dari benda tersebut.
Museum sebagai pusat penelitian, museum berfungsi sebagai salah satu jaringan informasi ilmu pengetahuan. Museum sebagai salah satu lembaga pendidikan di luar sekolah formal. Artinya museum sebagai lembaga pendidikan berguna untuk penelitian bagi kepentingan pengunjung (G.D. Van Wager, 1990).
Museum sebagai pusat rekreasi, museum berfungsi sebagai penghayatan nilai – nilai keindahan. Sembari memperlajari benda – benda yang terdapat di museum, pengunjung dapat menghayati nilai – nilai keindahan dalam benda – benda tersebut sebagai rekreasi diri.
Museum memberi kemudahan kepada pengunjung. Dengan tiga fungsi di atas diharapkan dampaknya akan dapat membantu pemerintah dalam mengembangkan bangsanya yang berwawasan luas, berkpribadian Indonesia, dan mencintai Negara dan bangsanya.
Revitalisasi Museum merupakan bagian dari Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM), yang bertujuan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum,upaya peningkatan kualitas museum dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan museum dan pelayanan pengunjung, dan menjadikan museum sebagai pranata sosial yang mampu membangkitkan kebanggaan dan memperkukuh jatidiri bangsa.
Disamping itu revitalisasi museum ini bertujuan untuk Meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di antara seluruh penyelenggara baik pemerintah maupun badan pelestari dan pengembangan museum dan memberikan pelayanan prima bagi pengunjung agar pengunjung tertarik untuk berkunjung kembali ke museum.
Revitalisasi museum juga diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting museum secara proporsional dan kontekstual. Museum diharapkan dapat mengubah citra dan wajah museum Indonesia menjadi lebih menarik dan prima.


D. KEBERHASILAN REVITALISASI SEBUAH MUSEUM
Pemerintah Indonesia memprogramkan revitalisasi museum selama lima tahun sejak 2010 hingga 2014 mendatang, yang mencakup 79 unit museum yang tersebar di berbagai daerah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) Hari Untoro Drajat, MA, mengemukakan hal itu saat membuka pertemuan nasional museum se-Indonesia,di Mataram.
"Pihak yang melaksanakan revitalisasi museum itu yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas," ujarnya.
Beliau menyebut jumlah museum yang direvitalisasi pada tahun 2010 sebanyak 6 unit, 2011 sebanyak 30 unit, 2012 sebanyak 10 unit, 2013 sebanyak 15 unit dan tahun 2014 sebanyak 20 unit museum.
Sementara para pihak yang terlibat dalam program revitalisasi museum itu antara lain pengunjung, masyarakat, badan pelestari, pengembang, badan pembuat dan pelaksana kebijakan dan regulasi serta lembaga donor.
"Revitalisasi museum itu mencakup aspek fisik, pengelolaan (SDM dan koleksi), program kreatif, jejaring dengan komunitas, kebijakan dan pemasaran serta komunikasi," ujarnya.
Untoro mengatakan, revitalisasi museum itu merupakan salah satu kegiatan Gerakan Nasional Cinta Museum periode 2010-2014, yang diawali dengan peluncuran Tahun Kunjung Museum 2010 yang diluncurkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, tanggal 30 Desember 2009.
Kegiatan Tahun Kunjung Museum 2010 itu didukung oleh seluruh museum di Indonesia dan asosiasi museum yang berada di enam provinsi yakni Sumatra Utara, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Bali.
Revitalisasi museum juga diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting museum secara proporsional dan kontekstual.
Oleh karena itu, kata Untoro menambahkan, diperlukan gerakan bersama untuk penguatan pemahaman, apresiasi dan kepedulian akan identitas dan perkembangan budaya bangsa yang harus terbangun pada tataran semua komponen masyarakat Indonesia, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional.

Dalam pertemuan nasional museum se-Indonesia yang berlangsung sejak 29 Maret hingga 1 April mengedepankan pencitraan museum yang berkualitas dan menuju masa depan. Pertemuan nasional itu bertujuan menyamakan langkah dan strategi dalam menyusun konsep serta perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan revitalisasi museum se-Indonesia, sehingga pada saatnya nanti akan terwujud museum yang berkualitas sebagai saran edukasi dan rekreasi serta dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemerintah Indonesia memprogramkan revitalisasi museum selama lima tahun sejak 2010 hingga 2014 mendatang, yang mencakup 79 unit museum yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu diperlukan gerakan bersama untuk penguatan pemahaman, apresiasi dan kepedulian akan identitas dan perkembangan budaya bangsa yang harus terbangun pada tataran semua komponen masyarakat Indonesia, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional (Untoro).


E. SEJARAH PERKEMBANGAN MUSEUM
Perkembangan museum di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik pada masa VOC maupun Hindia-Belanda makin jelas dengan berdirinya lembaga-lembaga yang benar-benar kompeten, antara lain pada tanggal 24 April 1778 didirikan Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga tersebut berstatus lembaga setengah resmi dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3, dan 19 Statuten pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugasnya adalah memelihara museum yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik; himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap - cap; serta naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.
Pengertian tentang museum dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena museum senantiasa mengalami perubahan tugas dan kewajibannya. Museum merupakan suatu gejala sosial atau kultural dan mengikuti sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang menggunakan museum itu sebagai prasarana sosial atau kebudayaan. Museum berakar dari kata Latin “museion”, yaitu kuil untuk sembilan dewi Muse, anak-anak Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur. Dalam perkembangannya museion menjadi tempat kerja ahli-ahli pikir zaman Yunani kuna, seperti sekolahnya Pythagoras dan Plato. Dianggapnya tempat penyelidikan dan pendidikan filsafat sebagai ruang lingkup ilmu dan kesenian adalah tempat pembaktian diri terhadap ke sembilan Dewi Muse tadi. Museum yang tertua sebagai pusat ilmu dan kesenian adalah yang pernah terdapat di Iskandarsyah. Lama kelamaan gedung museum tersebut yang pada mulanya tempat pengumpulan benda-benda dan alat-alat yang diperlukan bagi penyelidikan ilmu dan kesenian, ada yang berubah menjadi tempat mengumpulkan benda-benda yang dianggap aneh. Perkembangan ini meningkat pada abad pertengahan dimana yang disebut museum adalah tempat benda-benda pribadi milik pangeran, bangsawan, para pencipta seni dan budaya, para pencipta ilmu pengetahuan, dimana dari kumpulan benda (koleksi) yang ada mencerminkan apa yang khusus menjadi minat dan perhatian pemiliknya. Benda-benda hasil seni rupa sendiri ditambah dengan benda-benda dari luar Eropa merupakan modal koleksi yang kelak akan menjadi dasar pertumbuhan museum-museum besar di Eropa. "museum" ini jarang dibuka untuk masyarakat umum karena koleksinya menjadi ajang prestise dari pemiliknya dan biasanya hanya diperlihatkan kepada para kerabat atau orang-orang dekat. Museum juga pernah diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan dalam karya tulis seorang sarjana. Ini terjadi di zaman ensiklopedis yaitu zaman sesudah Renaissance di Eropa Barat ditandai oleh kegiatan orang-orang untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan mereka tentang manusia, berbagai jenis flora maupun fauna serta tentang bumi dan jagat raya disekitarnya. Gejala berdirinya museum tampak pada akhir abad 18 seiring dengan perkembangan pengetahuan di Eropa. Negeri Belanda yang merupakan bagian dari Eropa dalam hal ini juga tidak ketinggalan dalam upaya mendirikan museum. Perkembangan museum di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain:
- Memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik pada masa VOC maupun Hindia-Belanda makin jelas dengan berdirinya lembaga-lembaga yang benar-benar kompeten, antara lain pada tanggal 24 April 1778 didirikan Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga tersebut berstatus lembaga setengah resmi dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3, dan 19 Statuten pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugasnya adalah memelihara museum yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik; himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap-cap; serta naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan. Lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang penting bukan saja sebagai perkumpulan ilmiah, tetapi juga karena para anggota pengurusnya terdiri dari tokoh-tokoh penting dari lingkungan pemerintahan, perbankan dan perdagangan. Yang menarik dalam pasal 20 Statuten menyatakan bahwa benda yang telah menjadi himpunan museum atau Genootschap tidak boleh dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga dan anggota-anggota atau bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali mengenai perbukuan dan himpunan naskah-naskah (handschiften) sepanjang peraturan membolehkan. Pada waktu Inggris mengambil alih kekuasan dari Belanda, Raffles sendiri yang langsung mengepalai Batavia Society of Arts and Sciences. Jadi waktu inggris kegiatan perkumpulan itu tidak pernah berhenti, bahkan Raffles memberi tempat yang dekat dengan istana Gurbenur Jendral yaitu di sebelah Harmoni (Jl. Majapahit No. 3 sekarang).Selama kolonial Inggris nama lembaga diubah menjadi "Literary Society". Namun ketika kolonial Belanda berkuasa kembali pada nama semula yaitu "Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Watenschapen " dan memusatkan perhatian pada ilmu kebudayaan, terutama ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu bangsa-bangsa, ilmu purbakala, dan ilmu sejarah. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan alam mendorong berdirinya lembaga-lembaga lain. Di Batavia anggota lembaga bertambah terus, perhatian di bidang kebudayaan berkembang dan koleksi meningkat jumlahnya, sehingga gedung di Jl. Majapahit menjadi sempit. Pemerintah kolonial belanda membangun gedung baru di Jl. Merdeka Barat No. 12 pada tahun 1862. Karena lembaga tersebut sangat berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan maka pemerintah Belanda memberi gelar "Koninklijk Bataviaasche Genootschap Van Kunsten en Watenschapen".
Lembaga yang menempati gedung baru tersebut telah berbentuk museum kebudayaan yang besar dengan perpustakaan yang lengkap (sekarang Museum Nasional). Sejak pendirian Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen untuk pengisian koleksi museumnya telah diprogramkan antara lain berasal dari koleksi benda-benda bersejarah dan kepurbakalaan baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Semangat itu telah mendorong untuk melakukan upaya pemeliharaan, penyelamatan, pengenalan bahkan penelitian terhadap peninggalan sejarah dan purbakala. Kehidupan kelembagaan tersebut sampai masa Pergerakan Nasional masih aktif bahkan setelah Perang Dunia I masyarakat setempat didukung Pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian terhadap pendirian museum di beberapa daerah di samping yang sudah berdiri di Batavia, seperti Lembaga Kebun Raya Bogor yang terus berkembang di Bogor. Von Koenigswald mendirikan Museum Zoologi di Bogor pada tahun 1894. Lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang bernama Radyapustaka (sekarang Museum Radyapustaka) didirikan di Solo pada tanggal 28 Oktober 1890, Museum Geologi didirikan di Bandung pada tanggal 16 Mei 1929, lembaga bernama Yava Instituut didirikan di Yogyakarta tahun 1919 dan dalam perkembangannya pada tahun 1935 menjadi Museum Sonobudoyo. Mangkunegoro VII di Solo mendirikan Museum Mangkunegoro pada tahun 1918. Ir. H. Haclaine mengumpulkan benda purbakala di suatu bangunan yang sekarang dikenal dengan Museum Purbakala Trowulan pada tahun 1920. Pemerintah colonial Belanda mendirikan Museum Herbarium di Bogor pada tahun 1941. Di luar Pulau Jawa, atas prakarsa Dr.W.F.Y. Kroom (asisten residen Bali) dengan raja-raja, seniman dan pemuka masyarakat, didirikan suatu perkumpulan yang dilengkapi dengan museum yang dimulai pada tahun 1915 dan diresmikan sebagai Museum Bali pada tanggal 8 Desember 1932. Museum Rumah Adat Aceh didirikan di Nanggro Aceh Darussalam pada tahun 1915, Museum Rumah Adat Baanjuang didirikan di Bukittinggi pada tahun 1933, Museum Simalungun didirikan di Sumatera Utara pada tahun 1938 atas prakarsa raja Simalungun. Sesudah tahun 1945 setelah Indonesia merdeka keberadaan museum diabadikan pada pembangunan bangsa Indonesia. Para ahli bangsa Belanda yang aktif di museum dan lembaga-lembaga yang berdiri sebelum tahun 1945, masih diijinkan tinggal di Indonesia dan terus menjalankan tugasnya. Namun di samping para ahli bangsa Belanda, banyak juga ahli bangsa Indonesia yang menggeluti permuseuman yang berdiri sebelum tahun 1945 dengan kemampuan yang tidak kalah dengan bangsa Belanda. Memburuknya hubungan Belanda dan Indonesia akibat sengketa Papua Barat mengakibatkan orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia dan termasuk orang-orang pendukung lembaga tersebut. Sejak itu terlihat proses Indonesianisasi terhadap berbagai hal yang berbau kolonial, termasuk pada tanggal 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). LKI membawahkan 2 instansi, yaitu museum dan perpustakaan. Pada tahun 1962 LKI menyerahkan museum dan perpustakaan kepada pemerintah, kemudian menjadi Museum Pusat beserta perpustakaannya. Periode 1962-1967 merupakan masa sulit bagi upaya untuk perencanaan medirikan Museum Nasional dari sudut profesionalitas, karena dukungan keuangan dari perusahaan Belanda sudah tidak ada lagi.
Di tengah kesulitan tersebut, pada tahun 1957 pemerintah membentuk bagian Urusan Museum. Urusan Museum diganti menjadi Lembaga Urusan Museum-Museum Nasional pada tahun 1964, dan diubah menjadi Direktorat Museum pada tahun 1966. Pada tahun 1975, Direktorat Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman. Pada tanggal 17 September 1962 LKI dibubarkan, Museum diserahkan pada pemerintah Indonesia dengan nama Museum Pusat di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Pusat diganti namanya menjadi Museum Nasional pada tanggal 28 Mei 1979. Penyerahan museum ke pemerintah pusat diikuti oleh museum-museum lainnya. Yayasan Museum Bali menyerahkan museum ke pemerintah pusat pada tanggal 5 Januari 1966 dan langsung di bawah pengawasan Direktorat Museum. Begitu pula dengan Museum Zoologi, Museum Herbarium dan museum lainnya di luar Pulau Jawa mulai diserahkan kepada pemerintah Indonesia sejak museum-museum diserahkan ke pemerintah pusat, museum semakin berkembang dan museum barupun bermunculan baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh yayasan- yayasan swasta. Perubahan politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa pada tagun 1998, telah mengubah tata negara Republik Indonesia. Perubahan ini memberikan dampak terhadap permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman diubah menjadi Direktorat Sejarah dan Museum di bawah Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2000. Pada tahun 2001, Direktorat Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman.
Susunan organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman di bawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pada tahun 2002. Direktorat Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan Permuseuman pada tahun 2004. Akhirnya pada tahun 2005, dibentuk kembali Direktorat Museum di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. (Tim Direktorat Museum).

F. EKSISTENSI DAN KELANJUTAN HIDUP MUSEUM
Merujuk contoh pada museum nasional di Jakarta, dahulu Museum pernah mengenyam masa jaya yaitu pada awal kemerdekaan hingga Museum Nasional pernah juga mendapat sebutan Gedung Jodoh, karena banyak orang yang mendapatkan jodohnya karena mengunjungi museum ini. Namun, setelah itu, berangsur-angsur pamor museum meredup hingga pada kondisi terparah menjelang dekade 70-an.buruknya pengelolaan museum ketika itu, diperparah oleh berbagai aksi perampokan. Awal 70-an Museum Nasional sempat dijarah kawanan perampok pimpinan gembong penjahat, Kusni Kasdut --dihukum mati awal 80-an-- yang membawa lari koleksi-koleksi terbuat dari emas dan batu mulia. 15 tahun kemudian, perampokan serupa terulang. Saat itu koleksi keramik Tiongkok menjadi sasaran perampokan.
Berbagai pembenahan wajib dilakukan untuk menarik pengunjung dan mengembalikan kondisi museum jauh lebih baik dibandingkan keramaian di masa jayanya. Dan hal ini harus didukung dengan dana perawatan dan pegawai yang berkualitas yang selama ini merupakan kendala umum museum – museum di Indonesia dan Jakarta khususnya.
Kendala besar yang saat ini tengah dihadapi sebagian besar museum di Indonesia adalah sepinya pengunjung. Saat ini eksistensi dan kelanjutan museum semakin memprihatinkan. Dari aspek fisik, misalnya, beberapa bagunan museum terkesan kurang terawat, koleksi pun juga demikian, meski tidak dipungkiri masih terdapat beberapa museum yang berkualitas. Diyakini faktor keterbatasan anggaran yang menyebabkan pengelola tidak melakukan program perawatan museum secara berkala. Sebagai contoh misalnya di Museum Adityawarman Sumatera Barat. Manajemen koleksi soal pengadaan, registrasi, perawatan, pengamanan dan penelitian/pengkajian, yang paling mencuat adalah mengenai pendanaan, yang kurang mendapat dukungan dari APBN, APBD, PNBP, dan donatur. Kepala Museum Adityawarman Sumatera Barat, Muasri, mengatakan,”Sulit meyakinkan wakil rakyat di DPRD untuk meyakinkan bahwa museum perlu mendapat bagian yang memadai.” "Tetapi, wakil rakyat karena kurang paham visi dan misi museum, sehingga anggaran tetap kecil,".
Sesuatu yang memprihatinkan yakni apresiasi dan gairah masyarakat untuk berkunjung ke museum semakin berkurang. Fenomena kerendahan apresiasi masyarakat terhadap museum, yang ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah pengunjung, disebabkan oleh beberapa hal.
• Pertama, keminiman promosi dan sosialisasi yang dilakukan pihak pengelola, atau jika dilakukan sosialisasi hasilnya kurang menarik. Akibatnya, sebagian besar masyarakat kurang begitu paham akan keberadaan museum, sehingga wajar jika tidak timbul “keinginan” untuk mengunjungi.
• Kedua, keminiman kerja sama pengelola museum dengan institusi-institusi pendidikan, atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah.
• Ketiga, ketidakterlibatan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan museum baik secara optimal maupun minimal.

Bukan tidak mungkin museum akan ditinggalkan masyarakat, terutama kalangan generasi muda. Jika hal ini terjadi masyarakat dan generasi muda akan tidak memahami sejarah masa lalunya, padahal Negara yang sukses adalah Negara yang tidak pernah melupakan sejarahnya bahkan mengenalnya dengan baik. Dalam hal mencegah “kepunahan” museum di Indonesia, Pemerintah menggalakkan program revitalisasi museum hingga tahun 2014, salah satunya pada tahun ini tengah digalakkannya tahun kujungan museum tahun 2010 melalui kerjasama dengan Dinas Pendidikan. Untuk memeriahkan Tahun Kunjung Museum 2010 sebanyak 89 museum, asosiasi dan komunitas museum yang tersebar di seluruh tanah air mempersiapkan kalender kegiatan menarik selama satu tahun antara lain kegiatan pameran, seminar, atraksi budaya, pameran foto, serta apresiasi. Sementara itu, Pameran akbar bertemakan khasanah budaya Sumatera (Beloved Sumatara) yang berlangsung di Museum Volkenkunde Leiden, Belanda dan Museum Civilization Singapura mengawali berlangsungnya Tahun Kunjung Museum 2010 dengan tujuan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat umum dan kaum intelektual mengenai kekayaan budaya Sumatera. Selain itu melalui pameran tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memelihara, melindungi dan melestarikan budaya yang tersebar di seluruh Sumatara serta memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk memelihara secara berkesinambungan.
Program Tahun Kunjung Museum 2010 merupakan upaya untuk mendorong kesadaran masyarakat terhadap arti penting museum serta meningkatkan jumlah pengunjung museum yang menjadi bagian dari Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM).
GNCM mulai dilaksanakan pada 2010 hingga 2014 ini merupakan langkah strategis dalam mewujudkan revitalisasi museum di Indonesia sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan sesuai fungsi museum kepada masyarakat. Demikian dikabarkan oleh Pusat Informasi dan Humas Kemenbudpar.

G. PARADIGMA PARTISIPATORIS
Dalam mensuksesi revitalisasi museum semua pihak diharapkan melakukan langkah-langkah strategis untuk menghidupkan kembali museum.

• Pertama, membangun paradigma bahwa museum adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, atau paradigma pengelolaan partisipatoris. Artinya, pengelolaan museum bukan lagi menjadi monopoli pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Model paradigma seperti ini, telah diterapkan pada pengelolaan museum sejarah kota Seoul di Korea Selatan, dan museum Fatahillah Jakarta. Di Museum Fatahillah, misalnya, masyarakat bahkan rela menyumbangkan benda-benda bersejarah yang menjadi koleksi pribadi kepada museum. Karena itu sampai saat ini, tercatat lebih dari 200 benda koleksi museum yang berasal dari sumbangan masyarakat.
• Kedua, pengelola museum harus mampu menjalin kerja sama yang baik dengan semua pihak, khususnya institusi pendidikan atau lembaga-lembaga yang intens pada kajian sejarah. Kerja sama dengan institusi pendidikan, misalnya, museum menjadi salah-satu sumber belajar sehingga pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan menyenangkan.
Jika memungkinkan, pengelola museum perlu membuat program museum school atau sekolah museum. Sehingga semua orang yang ingin memperdalam seluk-beluk sejarah dapat memperoleh informasi yang akurat dan data yang lengkap.
Melalui program tersebut, diharapkan museum dapat berfungsi menjadi sarana pendidikan dan hiburan atau rekreasi. Tujuannya agar masyarakat bisa memperoleh pencerahan sekaligus refreshing setelah sekian waktu berkutat dengan beban kehidupan yang semakin pelik.
• Ketiga, untuk mengamankan koleksi museum, perlu dibuat sistem teknologi informasi yang maju, serta memakai peralatan modern. Misalnya, dengan memasang kamera tersembunyi (CCTV), microradio di tempat menaruh benda koleksi dan sebagainya. Teknologi informasi —yang canggih dan terintegrasi—juga akan menciptakan museum sebagaimana keadaan sesungguhnya, sehingga pengunjung seolah-olah tengah berwisata pada masa lalu. Setiap provinsi atau kabupaten kota tentu mengalami kebesaran dan perjalanan sejarah untuk menjadi sebuah provinsi atau kabupaten kota. Hal ini tentunnya akan mendukung terwujudnya pembangunan daerah di berbagai bidang khususnya pada bidang kebudayaan.
Secara umum, pada dasarnya masyarakat mempunyai anggapan bahwa museum hanyalah tempat penyimpanan benda-benda sejarah dan benda purbakala sebagaimana diibaratkan sebagai lembaga pengembangan budaya dan peradaban manusia. Tidak hanya itu, menurut ambrose dan crispin (1993), museum merupakan wahana yang memiliki peranan penting terhadap pengenalan dan penguatan identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu melalui pembangunan dan peremajaan museum di harapkan gerakan pengenalan, penguatan dan apresiasi serta kepedulian akan identitas dan perkembangan budaya bangsa Indonesia tidak hanya sebuah cerita pembangunan akan tetapi akan tercermin dari banyaknya minat masyarakat baik secara nasional dan regional bahkan internasional untuk mengunjungi museum. Langkah-langkah menghidupkan museum itu, perlu didukung dengan kebijakan Pemkot dan Pemprov. Misalnya, kebijakan pengembangan kota setidaknya harus mengindahkan aspek sejarah; pembangunan berbagai infra-suprastruktur kota tidak merusak atau mengurangi nilai sejarah dari situs atau cagar budaya.
Pembangunan di wilayah manapun harus diarahkan sehingga tidak merusak cagar budaya dan berbagai situs bersejarah, tetapi yang diharapkan pembangunan dapat memperbaiki atau merevitalisasi daya dukungnya (Agus Wibowo).

H. ANIMO DATANG KE MUSEUM KONVENSIONAL DAN KONTEMPORER
Tampaknya pamor museum konvensional dan museum kontemporer agak tertinggal. Museum konvensional terkesan angker dan terasing. Di beberapa museum tidak hanya terlihat kelegangan yang tersirat tetapi juga kekumuhan dan kekotoran. Hal ini menunjukkan betapa tak pedul dan perhatiannya masyarakat terhadap jejak – jejak sejarah bangsanya.
Dalam gambaran di museum Nasional, misalnya, terlihat antusiasme orang asing berkunjung ke museum- museum Indonesia yang cukup besar. Justru orang – orang yang tampak peduli terhadap kekayaan budaya bangsa Indonesia adalah orang – orang asing.
Situasi tak jauh berbeda juga terjadi di Museum Tekstil. Di sini pribumi yang datang berkunjung justru akan menjadi orang asing di rumah sendiri. Pengunjung yang berkunjung didominasi oleh orang asing. Minat warga Ibukota untuk mengunjungi museum sangat memprihatinkan. "Apalagi koleksi museum ini belum begitu dikenal dan jarang peminat." Ungkap Kepala Museum Tekstil ini,Puspitasari Wibisono. Ia melihat adanya dampak buruk dari kondisi itu yakni dengan ditandainya sangat sedikit buku karya orang Indonesia yang menelaah masalah tekstil Bangsa Bahari ini. Buku – buku yang ada tentang tekstil di Indonesia sebagian besar adalah hasil karya orang asing.
Menurunnya pamor museum konvensional sekarang ini karena masyarakat lebih tertarik datang ke pusat-pusat perbelanjaan, gedung bioskop, atau tempat Rekreasi dari pada museum. Disamping itu kurangnya informasi juga membuat pamor museum menjadi rendah.
Pada dasarnya, minat masyarakat datang ke museum belum mengkhawatirkan yang terlihat dari antusiasme para pelajar setiap kali berkunjung ke museum. Namun karena pemahaman masyarakat yang terbatas akibat terputusnya informasi kegiatan museum menjadikan mereka tak pernah memasukkan museum ke dalam salah satu agenda wisata atau hiburan keluarga.
Pihak pengelola museum dapat melakukan beberapa rangkaian kegiatan agar museum terlihat lebih aktif dalam pemromosian dirinya, misalnya mengatur ruang dengan penataan lebih menarik, membuat pameran, lomba, seminar, dan lain sebagainya. Museum juga perlu dilengkapi sarana bermain, parkir, serta restoran yang memadai dan tertata rapi untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung.
Dengan demikian anggapan masyarakat bahwa berkunjung ke museum adalah melihat barang rongsokan dan buang – buang waktu akan hilang dengan sendirinya.
Pamor Museum "Kontemporer" seperti Taman Mini Indonesia Indah dan
Monas tak pernah sepi pengunjung. Pada dasarnya fungsi museum sebagai sarana rekreasi, terealisasi di museum kontemporer. Sebagian besar masyarakat ketika pergi ke museum kontemporer memiliki tujuan untuk mencari hiburan dan rekreasi, sebagaimana dikatakan Tedjo Susilo, Kepala Sub Direktorat Museum Umum.
Orang- orang pergi ke Taman Mini umumnya karena ingin menonton film di Keong Mas, atau jika pergi ke Monas hanya karena ingin melihat Jakarta dari atas," kata Tedjo. Rendahnya animo masyarakat datang ke museum konvensional karena belum merupakan budaya masyarakat secara keseluruhan. "Melihat koleksi kekayaan budaya di museum, bagi masyarakat kita belum merupakan kebutuhan primer. Ini sangat berlainan dengan keadaan masyarakat di negara-negara yang telah maju yang harus antri untuk masuk museum.
Namun, kata Tedjo, animo untuk datang ke museum sebetulnya tak terlalu buruk jika mengacu pada jumlah pengunjung selama ini. Menurut beliau, pada periode tahun 1993-1994 saja jumlah pengunjung untuk seluruh museum Jakarta tercatat sebanyak 1.445.601 orang. Dari angka ini sebanyak 95.351 adalah orang asing, 4.580 peneliti, dan sisanya sebanyak 763.800 orang adalah pengunjung domestik.
Sekarang ini di beberapa museum mulai dibuat kegiatan yang bersifat memberikan pengalaman kepada pengunjung. Di Museum Tekstil, misalnya, pengunjung bisa merasakan pengalaman membatik dengan biaya Rp 35.000 dan hasilnya dapat dibawa pulang.
Museum Transportasi di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mengajak pengunjung masuk ke ruang kokpit pilot pesawat DC-9 buatan 1980-an milik maskapai Garuda Indonesia dengan membayar Rp 2.500. Di museum ini, pengunjung juga bisa masuk ke rangkaian gerbong kereta luar biasa yang pernah membawa Bung Karno dan Bung Hatta hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946.
Salah satu komunitas yang peduli akan keberlangsungan museum yakni Komunitas Sahabat Museum, yang berdiri sejak 2002, mengemas acara kunjungan ke museum agar menarik perhatian masyarakat. Setiap mengunjungi museum, peserta akan mendapat cerita tidak hanya tentang museum dan koleksinya, tetapi juga tentang sejarah lingkungan museum tersebut. Misalnya tentang riwayat Tanah Abang, tempat berdirinya museum tekstil, bagaimana berburu yang baik di museum Rahmat, dan lain - lain.
Sahabat Museum juga mengenalkan sejarah bangsa ini dengan berjalan-jalan. Salah satunya ke Kota Tua Jakarta, Januari 2009, yang menyedot sekitar 1.000 peserta. Untuk lebih menarik perhatian, peserta komunitas ini juga selalu mendapat penganan khas daerah yang dikunjungi. Saat jalan-jalan di daerah Betawi, misalnya, mereka mendapat roti buaya, bir pletok, dan es krim Ragusa. Intinya, publik diajak akrab dengan museum untuk mengenal peradaban bangsa pada masa lalu dan merefleksikannya dalam kehidupan kekinian.

I. KESIMPULAN DAN SARAN
Konsep revitalisasi tidak hanya sekedar menghidupkan kembali apa yang sebelumnya pernah ada, tetapi menyempurnakan strukturnya, mekanisme kerjanya, menyesuaikan dengan kondisi baru, semangat baru dan komitmen baru.
Kebijakan revitalisasi museum di Indonesia bermanfaat untuk meningkatkan pengembangan museum dan memperkenalkan museum kepada masyarakat luas.
Revitalisasi museum diharapkan dapat mewujudkan kesadaran untuk menempatkan kembali museum sebagai pilar mencerdaskan bangsa, memperteguh kepribadian bangsa, dan memperkokoh ketahanan nasional dan wawasan nusantara.
Revitalisasi Museum merupakan bagian dari Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM), yang bertujuan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum,upaya peningkatan kualitas museum dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan museum dan pelayanan pengunjung, dan menjadikan museum sebagai pranata sosial yang mampu membangkitkan kebanggaan dan memperkukuh jatidiri bangsa.
Kebijakan revitalisasi museum di Indonesia tengah digalakkan hingga tahun 2014. Pemerintah Indonesia memprogramkan revitalisasi museum selama lima tahun sejak 2010 hingga 2014 mendatang, yang mencakup 79 unit museum yang tersebar di berbagai daerah.
Pihak yang melaksanakan revitalisasi museum itu yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah dan komunitas. Jumlah museum yang direvitalisasi pada tahun 2010 sebanyak 6 unit, 2011 sebanyak 30 unit, 2012 sebanyak 10 unit, 2013 sebanyak 15 unit dan tahun 2014 sebanyak 20 unit museum.
Pihak pengelola museum dapat melakukan beberapa rangkaian kegiatan agar museum terlihat lebih aktif dalam pemromosian dirinya, misalnya mengatur ruang dengan penataan lebih menarik, membuat pameran, lomba, seminar, dan lain sebagainya. Museum juga perlu dilengkapi sarana bermain, parkir, serta restoran yang memadai dan tertata rapi untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung.
SARAN
Diharapkan semua pihak bekerja sama dalam program revitalisasi museum di Indonesia agar manfaat, dampak, sasaran dan tujuan dalap berjalan dengan sukses.

DAFTAR PUSTAKA

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/03/definisi-revitalisasi.html
http://aguswibowo82.blogspot.com/2009/03/revitalisasi-museum-yogyakarta.html
http://oase.kompas.com/read/2010/04/01/0018223/Peserta.Berikan.Komitmen.Dukung.Revitalisasi.Museum
http://www.tempointeraktif.com/hg/sastra_dan_budaya/2010/03/30/brk,20100330-236864,id.html
http://www.menkokesra.go.id/content/view/14410/1/
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=12398&Itemid=707
http://www.forumbudaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1789&Itemid=1
http://www.antaranews.com/berita/1269898583/kepala-museum-se-indonesia-bahas-revitalisasi-permuseuman
http://www.menkokesra.go.id/content/view/14410/39/
http://www.kapanlagi.com/h/revitalisasi-museum-diprogramkan-selama-lima-tahun.html
http://aapalupi.blogspot.com/2007/11/revitalisasi.html
http://adhisthana.tripod.com/artikel/museum.txt
http://aapalupi.blogspot.com/2007/11/revitalisasi.html
http://traveltourismindonesia.wordpress.com/2010/01/10/mengawali-tahun-kunjung-museum-2010/
http://www.museum-indonesia.net - Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Republik Indonesia Powered by Mambo Generated:13 April, 2010, 02:16

CULTURE

Definition of Culture

According Koentjaraningrat (2000:181) with the word culture comes from the cultural basis sangsakerta "buddhayah", ie the plural of buddhi, which means "kindness" or "reasonable". So Koentjaraningrat, defines culture as "the power of the mind" in the form of copyrights, wills and taste, while culture is the result of creativity, initiative and sense of it.

Koentjaraningrat also explained that basically many scholars who distinguish between culture and “culture”, where culture is a compound growth of aquaculture, which means the power of the mind. However, the study of anthropology, culture is considered an abbreviation of the culture, there is no difference from definition. So, culture or simply "culture", according Koentjaraningrat a "whole system of ideas, actions and results of human work in the framework of community life which belongs to self-made man with learning."

Then, on the other hand Clifford Geertz said that culture is a system of inherited conceptions in symbolic form, which in this way humans can communicate, preserve, and develop knowledge and attitude toward life. (Abdullah, 2006:1)
More specific anymore, E. B Taylor, in his book "Primitive Cultures", defines culture as a complex whole, which is contained inside knowledge, belief, art, morals, law, tradition, and other capabilities and habits acquired by man as a member of society."( Setiadi, 2007:27)

From the various definitions above, the authors drew the conclusion that culture is a system, which was formed from the behavior of the system, whether it is the behavior of body or mind. And this is closely associated with the movement of society, where the movement is dynamic and in a certain period of time will result in an order or system in a collection of separate communities.

The realization of Culture

J. J Honigmann (in Koenjtaraningrat, 2000) distinguish between the three 'cultural phenomena': ie: (1) ideas, (2) activities, and (3) artifacts, and this is made clear by Koenjtaraningrat with “three states of culture”:
1. Manifestation of culture as a complex of ideas, values, norms, rules and so forth.
2. Manifestation of culture as a complex pattern of activities and actions of human beings in society
3. Manifestation of culture as objects of human work.

About this cultural manifestation, Elly M. Setiadi et al in Books “Social Sciences and Cultural Association” (2007:29-30) gives the following explanation:

1. Being Idea
This manifestation shows of cultural ideas, abstract nature, can not be touched, held or photographed, and its place in the minds of citizens of the respective communities where the culture is alive.
Ideal culture has the function of regulating, controlling, and providing direction to the actions, behavior and actions of human beings in society as a courtesy. This cultural ideal is also called customs.

2. The form of behavior
The realization is called the social system, because it involves actions and patterns of human behavior itself. This manifestation can be observed, photographed and documented because in the social system has activities that interact and relate with each other and interact in society. Concrete is in the form of behavior and language.

3. Being Artifact
This realization is also called physical culture, which was entirely the result of a physical. Most concrete in nature and can be felt, seen and documented. For example: the temples, buildings, clothes, fabrics, computers, etc.

Cultural Elements
Concerning the elements of culture, in his introduction book “ pengantar Ilmu Antropologi”, Koenjtaraningrat, extract prepared from various frameworks that scholars of Anthropology, suggests that there are seven elements of culture that can be found in all the nations of the world came to be called the elements of universal culture, they are:
1. Language
2. Knowledge Systems
3. Social Organizations
4. Living Equipment Systems and Technology
5. Livelihood System
6. Religion System
7. Art



A. INTRODUCTION
This article explains about culture, the realization of culture, and cultural universal elements. As we know together, every ethnic in the earth or all people of the world have their own cultures. And these cultures aren’t same so the anthropologist make a classification about the realization of culture and and cultural universal elements.
If we say about culture, we can’t leave it with anthropology. The anthropology often says about culture because anthropology is the study about all aspect of human life and culture. It examines such topics as how people life, what they think, what they produce, and how they interact with their environment. Anthropologists try to understand the full range of human diversity as well as what all people share in common.
Anthropology ask such basic question as: when, where, and how did human evolve? How do people adapt to different environment? How have societies developed and changed from the ancient past to present? Answer to these questions can help understand what it means to be a human. They can also help us learn ways to meet the present-day needs of people all over the world and to plan how we might live in the future. (Encharta Encyclopedia).

B. EXPLANATION OF CULTURE, THE REALIZATION OF CULTURE, AND CULTURAL UNIVERSAL ELEMENTS
This article make three definitions of culture, according to Koentjaraningrat, Clifford Geertz and E.B Tylor.
Koentraningrat said that culture is a whole system of ideas, actions and results of human work in the framework of community life which belongs to self-made man with learning."
Clifford Geertz said that culture is a system of inherited conceptions in symbolic form, which in this way human can communicate, preserve, and develop knowledge and attitude toward life. (Abdullah, 2006:1)
E. B Tylor, in his book "Primitive Cultures", defines culture as a complex whole, which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society."( Setiadi, 2007:27)
From the various definitions’ above, the author of the article makes a conclusion that culture is a system, which formed from the behavior of the system, whether it is the behavior of body or mind. And he said culture influences the movement of society, the movement is dynamic and in a certain period of the time will result in an order or system in a collection of separate communities. And according to the group, culture is all tradition or custom, which are made and taught by people regularly as a good things and which are continued from the generation to the next generation.

The realization of culture
JJ Hognimann distinguish the three cultural phenomena, ie: ideas, activities, and artifact.
a. Ideas
This manifestation shows of cultural ideas. It is abstract, cannot be touched, held, or photographed, and its place in the minds of citizens of the respective communities where the culture is alive. If the citizens said their ideas in hand-writing, so the location of ideal culture is often in the book or treatise.
Ideal culture has the function of regulating, controlling, and providing direction to the actions, behavior and actions of human beings in society as the courtesy. This cultural ideas is also called customs.
b. Activities
The realization is called the social system, consist of activities the people that being interaction, relationship, and always alternate according to the custom. This social system is concrete in the form of behavior and language. This manifestation can be observed, photographed and documented because in the social system has activities that interact and relate with each other and interact in society
c. Artifact
This realization is also called physical culture, which was entirely the result of a physical. Most concrete in nature and can be felt, seen and documented. For example: the temples, buildings, clothes, fabrics, computers, etc.

CULTURAL UNIVERSAL ELEMENTS

1. LANGUAGES
Tool or the embodiment of human culture that is used to communicate with each other, either verbal communication or non-verbal communication. Language is a product of man as homo longuens. Through language, social interaction and running well between the parties - parties are communicating.

2. KNOWLEDGE SYSTEM
Knowledge gained through experience, intuition, revelation, and think according to logic, both derived from it or from other people's thoughts. Knowledge is a product of man as Homo sapiens. Humans have the ability to remember, this makes the knowledge can spread widely through the language. For example, knowledge of natural systems such as plants, what plants can be used as drugs, or poisonous, what kinds of plants that can be used as clothing materials, dyes, or builds housing.

3. SOCIAL ORGANIZATION AND KINSHIP SYSTEM
Kinship system is a very important part in the social structure. Relationships between people or groups - the group took place according to the rules - the rules and patterns - a specific pattern. In human life, people cannot do any activities alone. He needs the cooperation of the people - people in the surrounding areas. This is a product of man as homo socius. For example, the social system in the society described in detail how to draw the line in a group, kinship, inheritance laws, and rules - the rules of another.


4. EQUIPMENT AND TECHNOLOGY SYSTEM LIFE
Technology is all the ways that humans use to meet their basic needs. Technology and equipment is a product of man as Homo Faber. Humans produce tools - tools that best meet their needs through the mind (the technology is available). For example, the procedures and tools used for transportation, such as cart, bicycle, automobile, aircraft, ships, etc..

5. LIVELIHOOD SYSTEM
Livelihood of human effort is the way of people to fill n their daily lives everyday. Here, humans act as homo economicus. Examples of these systems, ie: hunting and gathering, farming, grow crops in the fields, fishing, and others - others.

6. RELIGION SYSTEMS
Religious system greatly affects the action - action taken by someone. This system is a system that is difficult to alter. In this system, humans act as homo religious. Examples of these systems, namely: belief in animism, dynamism, totemism, etc.

7. ART
Man as homo esteticus - not only to meet its food needs, but also fills his soul with beauty, both visual and auditory. For example: the art of music, movement arts, and painting.

C. CONCLUSION
In the end of the article, group takes a conclusion that culture is a social system about all tradition which are made and taught by people regularly as a good things and which are continued from generation to the next generation.
The realization of culture can consist to 3 phenomena, i.e.: ideas, activities, and artifact.
And the cultural Universal Elements can consist to 7 elements, i.e.: Language, Knowledge Systems, Social Organizations, Living Equipment Systems and Technology, Livelihood System, Religion System, Art.
In every ethnic all over the world certainly have these seven cultural Universal Elements.

PENDEKATAN HISTORIS

I. Pengertian Historisme
Historisme adalah pemikiran yang berkenaan pada asumsi bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pemikiran dan kesadaran manusia tak lepas dari kehidupan di masa silam.
Historisme hadir untuk memahami masa silam dengan bertolak belakang dari masa silam itu sendiri artinya tidak menilai masa silam dengan tolak ukur / pandangan di masa kini. Historisme muncul ketika Filsafat pada abad-17 tidak memerhatikan sejarah, sehingga penelitian sejarah menjadi tidak berbobot. Oleh karena itulah muncul skeptisisme terhadap masa silam. Skeptisisme tersebut berupa pandangan bahwa ilmu sejarah tidak dapat menyajikan kebenaran masa silam. Pada awal abad-18 Seorang Antropologi Sosial, Evans Pritchard hadir memperkenalkan pendekatan historis ini dalam penelitian antropologi dan sejarah (sosial). Menurut Evans Oritchard agar penelitian antropologi dapat berbobot, maka dibutuhkan bahan – bahan dan data – data sejarah sebagai alat pembanding /komparatif untuk melakukan penelitian.
II. Konsep Historis menurut Evans Pritchard.
Walaupun dalam penelitian lapagannya ia menerapkan metode – metode penelitian kualitatif yang dianjurkan oleh Malinowski, dan walaupun dalam analisa dan penggarapan bahan data ia menerapkan konsep struktur sosial secara fungsional yang dianjurkan oleh Radcliffe Brown, Namun dalam sikapnya terhadap ilmu sejarah dan dalam pandangannya tentang tujuan dari ilmu antropologi sosial, Evans Pritchard sangat berbeda, baik dengan Malinowski maupun dengan Radcliffe Brown ( Koentjaraningrat, 1987:189).
Evans pritchard adalah seorang sarjana yang memulai studinya dalam ilmu sejarah,sehingga tidak heran bahwa ia tidak memiliki sikap anti sejarah seperti Malinowsi dan Radcliffe Brown. E.P ( sebagaimana ia biasa dipanggil oleh teman – teman dan murid-muridnya) menyatakan bahwa antropologi suatu saat nanti akan menjadi sebuah pilihan untuk menjadi sejarah atau tidak. Malahan E.P mengemukakan bahwa Orang harus menganggap sistem sosial dari masyarakat yang dipelajari itu sebagai suatu sistem moral, dan bukan sebagai gejala alam. Artinya ada sebuah kebiasaan yang membudaya dari sebuah sistem sosial yang brawal dari sebuah sejarah dibentuknya sistem sosial tersebut dalam sebuah masyarakat. Antropologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan berbagai dimensi kehidupan (kebudayaan). Karena itu E.P berpendapat bahwa pada dasarnya ahli antropologi sosial dan ahli sejarah khususnya ahli sejarah sosial ,tidak berbeda maka dapat disimpulkan berdasarkan pendapat E.P bahwa “antropologi adalah sejarah”. Kedua – keduanya bertujuan merekonstruksi dan membuat deskripsi mengenai struktur sosial dari suatu masyarakat tertentu. Bedanya hanyalah bahwa ahli antropologi sosial melakukannya di dalam suatu masyarakat di masa kini, yang terletak jauh di luar masyarakatnya sendiri, sedangkan ahli sejarah melakukannya dalam masyarakat dari suatu zaman yang lampau, yang menyebabkan bahwa sumber data dan metode serta teknik – teknik penelitian antara kedua ilmu itu berbeda ( Evans Pritchard dalam Koentjaraningrat, 1961). Hal yang sama dikemukakan pula oleh Arnold J. Toynbee (1889-1975) yang menyatakan bahwa tugas seorang sejarawan tidak jauh berbeda dari seorang antropolog, ialah melalui studi komparasi berusaha mempelajari siklus kehidupan masyarakat, kemudian dari masing-masing kebudayaan dan peradaban mereka ditarik sifat-sifatnya yang universal (umum).


II.1 Pandangan Evans-Pritchard terhadap struktur sosial
Perkembangan lebih lanjut atas konsep struktur sosial dibuat oleh E.E. Evans-Pritchard (E-P), yaitu orang yang menggantikan Radcliffe Brown sebagai professor antropologi sosial di Oxford University. Meskipun E.P masih berada dalam lingkaran antropologi sosial Inggris, namun dia mempunyai dua pandangan penting yang agak berbeda dari pendahulunya Radcliffe Brown, sehubungan dengan metode eksplanasi dalam antropologi sosial dan konsep struktur sosial. Pertama, bagi E.P struktur sosial bukanlah jaringan hubungan yang terdiri atas person, tetapi terdiri atas kelompok sosial yang mempunyai sifat lebih tahan lama (constant) dan tersendiri (discrete). Bagi E.P salah satu ciri-ciri penting dari struktur sosial adalah kelanggengan hidupnya (endurance).
Menurut Radcliffe Brown, sebuah keluarga dapat dipandang sebagai sebuah struktur sosial, karena dalam keluarga terdapat beberapa status (ayah, ibu, anak) yang membentuk jaringan hubungan sosial yang terpola. Namun kenyataan ini tidak dapat diterima oleh E.P, karena kesatuan keluarga akan segera hilang begitu anggota-anggotanya meninggal. Sedangkan, sebuah struktur sosial harus hidup langgeng meskipun anggota-anggotanya hilang, baik karena pindah atau meninggal. Kelompok yang terkecil yang mempunyai struktur sosial bagi E-P adalah lineage (kelompok keturunan), atau dusun (kelompok territorial). Komponen dari sebuah lineage adalah segmen-segmen dari lineage tersebut, yaitu klen dan sub-klen. Meskipun individu-individu atau keluarga-keluarga yang menjadi anggota sebuah klen hilang, klen sebagai sebuah kelompok sosial tetap langgeng dalam sebuah lineage tersebut. Sementara itu komponen dari sebuah dusun dapat berupa RT, atau golongan keluarga. Meskipun keluarga atau individu anggota sebuah RT hilang karena pindah atau meninggal, namun RT, atau golongan, tetap langgeng dalam dusun tersebut.
Dalam mengumpulkan data etnografi mengenai orang Arab Badaw Sanusi di Cyreaica (1943;1949), E.P sendiri malahan juga mempergunakan data bahan sejarah dan sumber – sumber data sejarah dengan metode – metode dan teknik – teknik pengumpulan data seperti yang digunakan oleh para ahli sejarah. Sama dengan ahli sejarah sosial, seorang ahli antropologi sosial juga melakukan studi komparatif mengenai gejala – gejala sejarah. Apabila ahli sejarah sosial melakukan suatu studi komparatif, misalnya tentang kebudayaan suku bangsa Ngada di Flores Tengah, maka ia mengumpulkan bahan tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan Orang Ngada sekarang; tetapi di samping itu ia memperhatikan ciri – ciri ras dari orang Ngada dan suku – suku bangsa lain sekitarnya di Flores, dengan mengolah ke dalam bahannya artefak- artefak yang digali atau ditemukan di daerah Flores Tengah; dan dengan mengolah menjadi satu semua bahan tadi, ia mencoba mencapai pengertian tentang asal mula sejarah perkembangan dari suku bangsa Ngada. (Koentjaraningrat,1980:4-5). Contoh yang lain misalnya tentang feodalisme dalam masyarakat Eropa di zaman abad pertengahan, maka ahli sejarah sosial atau antroplogi sosial mengumpulkan sebanyak mungkin kasus di sebanyak mungkin negara kuno di Eropa dan dengan sebanyak mungkin variasi.
Usaha yang sulit itu tidak dilakukan seorang ahli sejarah untuk mengabstraksikan kaidah – kaidah mengenai berbagai wujud sistem feodalisme dalam hubungan dengan sejumlah variabel tertentu, tetapi untuk menemukan pola – pola yang berarti ( significant patterns) dalam kehidupan masyarakat yang berdasarkan struktur sosial yang bersifat feodalisme. Seperti itu juga ahli antropologi sosial yang melaksanakan penelitian komparatif mengenai misalnya gejala perceraian dalam sebanyak mungkin masyarakat yang beraneka ragam, atau mengenai gejala migrasi dalam sebanyak mungkin daerah yang beraneka warna, maka ia sebenarnya tidak bermaksud mencari kaidah – kaidah sosial mengenai gejala – gejala sosial tersebut tadi, tetapi bermaksud menemukan pola – pola yang berarti dalam proses – proses berlangsungnya ( Evans Pritchard 1951-a;1962:20-28;1965 dalam Koentjaraningrat, 1987:190).
Jadi,berbeda sekali dengan Malinowski ataupun Radcliffe Brown, Evans Pritchard tidak menanggap ilmu antropologi sosial sebagai suatu sains atau ilmu eksak yang bertujuan mencari kaidah – kaidah, baik yang bersifat psikologi dengan mencari akar- akar tingkah laku manusia yang terorganisasi dalam kebutuhan naluri manusia, maupun yang bersifat morfologi-fisiologi sosial, dengan menerapkan metode analisa ilmu biologi, fisiologi, atau fisika, melainkan bermaksud mencari pola – pola yang berarti dalam proses – proses berlangsungnya suatu fenomena. ( Koentjaraningrat, 1987:191)
Kelemahan atau kritik terhadap Pendekatan Historis
- Pendekatan historis ini akan lemah ketika dipakai untuk penelitian antropologi ataupun sejarah apabila dikaitkan dengan relativisme etis. Artinya perbuatan pelaku sejarah hanya bisa dikaitkan dengan norma di zamannya yang dipandang terlalu sempit.
- Perlu diperhatikan apakah sumber data sejarah yang digunakan untuk penelitian merupakan data asli (autentisitas).
- Kritik terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya? Caranya dengan melakukan komparasi dari sebanyak mungkin sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya (kredibilitasnya), Namun apabila kebenaran dari sumber tersebut masih rancu maka penelitian antropologi ataupun sejarah akan menjadi rancu pula kebenaran hasil penelitiannya.



DAFTAR BACAAN
Bohannan P dan Glazer (1988) High Point in Anthropology.New York:Alfred A.Knopf(407-421)
Koentjaraningrat. 1980.Beberapa Pokok Antropologi Sosial.Jakarta:Dian Rakyat.
.............................. 1987.Sejarah Teori Antropologi I.Jakarta:UI Press.

TEORI – TEORI SISTEM SOSIAL

ADAM SMITH
Adam Smith mengusulkan teori interaksionis, yakni bahwa sistem sosial muncul dari interaksi individu – individu yang ingin memenuhi kepentingan mereka. Masyarakat dibentuk oleh pembagian kerja yang mana diantara mereka salig tukar menukar barang. Dalam hal ini disimpulkan bahwa Masing – masing individu saling membutuhkan satu sama lain sehingga interaksi sesama dibutuhkan diantara mereka.
TALCOTT PARSON
Parsons menitikberatkan teorinya pada tindakan sosial. Sistem sosil merupakan salah satu cara dimana tindakan sosial dapat terorganisir. Disamping itu, terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yakni sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol dan sistem keperibadian para pelku individualnya. Parsons mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sistem sosial yang dilihat secara total. Namun bila sistem sosial dilihat sebagai sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa bagian – bagian sistem yang kecil. Misalnya keluarga, sistem pendidikan dan lembaga keagamaan.Menurut parsons sistem sosial cenderung bergerak ke arah yang simbang. Artinya bila terjadi kekacauan dalam sebuah masyarakat maka sistem sosial mengadakan sebuah penyesuaian untuk mencapai kedaan normal.
EMILE DURKHEIM
Sistem sosial dilihat oleh durkheim atas beberapa terminologi tentang masyarakat, diantaranya:
1. Fakta Sosial cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang berada di luar individu yang mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut.
2. Sui generis  melihat suatu fakta sosial tidak dapat diterima begitu saja yang pada akhirnya menciptakan prilaku moral karena adanya faktor – faktor lain seperti pertimbangan psikologis, biologis seseorang, dll.
3. Solidaritas Sosial  cara dan usaha manusia untuk membangun suatu komunitas yang disebut oleh durkheim sebagai masyarakat. Ada dua yang membangun solidaritas itu yakni solidaris organik ( melihat latar belakang kelompoknya harus sama) dan solidaritas

TEORI SISTEM SOSIAL KATZ & KAHN

Kebanyakan interaksi kita dengan orang lain merupakan tindakan komunikatif (verbal/non verbal, bicara / diam). “komunikasi – pertukaran informasidan transmisi makna – adalah inti suatu sistem sosial atau suatu organisasi. Termasuk dalam bentuk-bentuk interaksi sosial seperti penggunaan pengaruh, kerja sama penularan sosial atau peniruan dan kepemimpinan yang dimasukkan dalam konsep organisasi.
AGUSTE COMTE

Aguste comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan adalah “hukum tiga fase “. Yang diamksud hukum tiga fase ini adalah :
 Teologi
 Metafisika
 Tahap positif ( tahap ilmiah)

Dengan menggunakan metode-metode diatas comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Tahap teologis
Merupakan periode paling lama dalam se jarah manusia
2. Tahap metafisik
Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi
3. Tahap positif
Ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir

TEORI PERUBAHAN SOSIAL

A. Pengertian
Perubahan sosial budaya adalah gejala berubanya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat, dan merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Menurut Kingsley davis (Soekanto: 1990, 341-342), perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, uteknollogi, filsafat dan setrusnya. Bahkan perubahan- perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

B. Tokoh Teori Perubahan Sosial
Tokoh- tokoh yang mengemukakan tentang teori perubahan sosial antara lain:
1. John Lewis Gilin dan John Philips Gilin perubahan sosial budaya adalah suatu variasi dari cara- cara hidup yang diterima, yang disebabkan oleh perubahan- perubahan kondisii geografis, kebudayaan internal, ideology, serta karena adanya difusi dan penemuan baru dalam masyarakat.
2. Samuel Koening, Perubahan sosial budaya menujuk pada modifikasi yang terjadi dalam kehidupan manusia.
3. Selo Soemarjan, Segala perubahan pada lembaga- lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termaasuk didalamnya nilai- nilai, sikap dan pola- pola prilaku diantara kelompok- kelompok dalam masyarakat.
4. Kingsley Davis, Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi dalam struktur maasyarakat.
5. Mac Iver, Perubahan- perubahan dalam hubungan sosial
6. William Ogbuin, Mencakup unsur- unsur kebudayaan baik material maupun non material.

C. Bentuk- Bentuk Perubahan Sosial
1. Perubahan lambat dan perubahan cepat, Perubahan lambat sering juga disebut evolusi, sedangkan perubahan cepat adalah evolusi.
2. Perubahan kecil dan Perubahan besar, Perubahan ini lebih kepada prosesnya. Tidak mengubah keadaan secara besar- besaran dapat dikatakan perubahan kecil. Sedangkan perubahan besar membawa dampak dan mengubah keadaan dalam lingkup yang luas.
3. Perubahan Yang dikehendaki dan perubahan yang tidak dikehendaki, Perubahan yang diketahui biasanya dilakukan oleh penguasa Negara untuk memberikan perubahan pada wilayah kekuasaannya. Sedangkan peerubahan yang tidak diketahui biasanya terjadi tanpa ada perencanaan yang matang untuk mengadakan perubahan.
D. Factor- factor yang menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri
• Bertambah atau berkurangnya penduduk
• Penemuan- penemuan baru
• Pertentangan- pertentangan dalam masyarakat
• Terjadinya pemberontakkan atau revolusi.
2. Sebab yang berasal dari luar masyarakat
• Sebab- sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada disekitar manusia
• Peperangan
• Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
E. Factor- factor yang mempengaruhi jalannya proses Perubahan Sosial
1. Factor yabg mendorong jalannya perubahan
• Kontak dengan kebudayaan lain
• Sistem pendidikan yang maju
• Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan- keinginan untuk maju
• Toleransi terhadap perbuatan menyimpang
• Sisitem lapisan masyarakat yang terbuka
• Penduduk yang heterogen
• Ketidak puasan masyarakat terhadap bidang- bidang kehidupan tertentu
• Orientasi kedepan
• Nilai meningkatkan taraf hidup
2. Factor- factor yang menghambat terjadinya perubahan
• Kurangnya berhubungan dengan masyarakat- masyarakat lain
• Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
• Sikap masyarakat yang tradisionalistis
• Adanya kepentingan- kepentingan yang telah tertanam dengan kuat
• Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
• Prasangka terhadap sesuatu yang baru/ asing
• Hambatan ideologis
• Kebiasaan
• Nilai pasrah
Sumber :
Soekanto, Soerjono.1990.Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta

TEORI ASOSIASI

1. Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.

2. Burrhus Frederic Skinner (1904- 1990)
Tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung (directed instruction ) & menyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning yang berkebangsaan Amerika. Gaya mengajar guru dilakukan secara searah & dikontrol melalui pengulangan (drill) & latihan (exercise).

3. Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

4. Robert Gagne (1916- 2002)
Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika yang terkenal dengan penemuannya berupa Conditions of Learning.

5. Albert Bandura (1925- masih hidup sampai sekarang)
Lahir 4 Desember 1925 di Mundare Alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog terkenal dengan teori belajar social /kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang terkenal adalah eksperimen Bobo Doll menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif orang dewasa.

http://haydar85.wordpress.com/2008/07/04/teori-belajar-behavioristik/


TEORI KOMUNIKASI


1. Teori Model Lasswell
Dalam artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang sederhana dan sering dikuti banyak orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa (Says what), dalam saluran yang mana (in which channel), kepada siapa (to whom) dan pengaruh seperti apa (what that effect) (Littlejhon, 1996).

2. Teori Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antar Pribadi
Teori ini berawal dari hasil penelitian Paul Lazarsfeld dkk mengenai efek media massa dalam kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian menunjukan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah dan asumsi stimulus respon tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan menentukan pendapat umum.

3. Teori Informasi atau Matematis
Teori ini merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver. 1949 b), Mathematical Theory of Communication. Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi.
4. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa
Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yang memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini berangkat dari sifat masyarakat modern, diamana media massa diangap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat,kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial.
Sumber: Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-teori Komunikasi. Penyunting: Jalaluddin Rakhmat, Penerjemah: Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya.

EVOLUSI

I. PENGERTIAN TEORI EVOLUSI DAN PROSES TERJADINYA
Evolusi adalah perkembangan yang terjadi secara bertahap yang mempengaruhi segala aspek kehidupan di dunia baik ekonomi, sosial, politik, dan dalam menjelaskan sejarah hidup manusia, hewan, tumbuhan, maupun hal – hal lainnya.
Evolusi pada dasarnya merupakan proses perubahan suatu keadaan dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya teori evolusi dicetuskan oleh Charles Darwin sekitar abad 19. Akan tetapi sebenarnya ide awal teori ini telah ada sejak zaman aristoteles. Namun, Darwin tetaplah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi dengan menghasilkan karya terbaiknya mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam. Inspirasi awalnya terdapat pada burung finch. Ketika berada di kepulauan Galapagos, bagian dari ekspedisi HMS Beagle, Darwin melihat bahwa paruh burung finch berbeda-beda, tergantung dari pulau mana asalnya. Ini adalah salah satu contoh bagaimana burung finch menyesuaikan diri dengan kondisi pulau yang berbeda-beda. Contohnya, di pulau yang satu, paruh burung finch kuat dan pendek dan cocok untuk memecahkan kulit kacang yang keras. Di pulau lainnya, paruh burung finch sedikit lebih panjang dan lebih tipis, cocok untuk mengisap jenis makanan yang berada di pulau itu. Hal ini membuat Darwin berpikir akan suatu kemungkinan bahwa burung finch tidak diciptakan begitu saja, melainkan melalui proses adaptasi. Waktu adalah faktor penting dalam evolusi. Proses evolusi memerlukan waktu yang sangat lama. Menurut Darwin, ada dua mekanisme yang mendasari evolusi. Pertama, proses evolusi membawa spesies yang ada untuk berinteraksi dengan kondisi ekologinya. Mekanisme yang kedua adalah kelahiran spesies baru dari hasil variasi di spesies yang ada. Ini terjadi bila suatu group mahluk hidup menjadi terpisah dan pada akhirnya mempunyai gaya hidup yang sangat berbeda. Pada 1859, Darwin menerbitkan "On the Origin of Species by means of Natural Selection",sebagai wujud bahwa seleksi alam lah yang merupakan mekanisme evolusi.
Menurut Ernst Mayr (2001), Darwin mengajukan lima teori perihal evolusi:
1. Bahwa kehidupan tidak tetap sama sejak awal keberadaannya
2. Kesamaan leluhur bagi semua makhluk hidup
3. Evolusi bersifat gradual (berangsur-angsur)
4. Terjadi pertambahan jumlah spesies dan percabangan garis keturunan
5. Seleksi alam merupakan mekanisme evolusi
http://erabaru.net/iptek/55-iptek/3371-teori-evolusi-kekeliruan-terbesar-dalam-ilmu-pengetahuan.html
II. PENGEMUKA TEORI – TEORI EVOLUSI
Dalam buku Koentjaraningrat “ Sejarah Teori Antropologi 1”, ia mengemukakan beberapa pengemuka teori evolusi, diantaranya:
a. Teori evolusi sosial universal
Teori Ini dikemukakan oleh Herbert Spencer. Konsep ini dituangkannya dalam bukunya “Descriptive Sociology” (1873-1934). Spencer menjabarkan mengenai asal mula religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh nenek moyang. Bentuk religi ini muncul karena manusia sadar dan takut akan maut. Spencer menyadari bahwa bentuk religi ini akan berevolusi ke tingkat yang lebih kompleks dan berbeda – beda, seperti penyembahan kepada dewa – dea, totemisme, polytheisme, hingga kepercayaan pada 1 Tuhan ( Monotheisme).
Evolusi hukum pada masyarakat pada mulanya adalah hukum keramat. Timbul karena rasa takut apabila melanggar aturan – aturan para nenek moyang. Kemudian berevolusi pada hukum yang sekuler (keduniaan) hingga hukum yang berdasarkan undang-undang atau sejenisnya (hukum tertulis). Spencer juga mengemukakan evolusi pada umumnya tentang siapa yang paling berkuasa, yang sanggup bertahan, maka ialah yang paling cocok dengan lingkunganya (Survival of The Fittest).
b. Teori evolusi keluarga
Johan Jacoeb Bachofen adalah pencetus teori evolusi keluarga. Teorinya diuraikan dalam bukunya “Das Mutterrecht”(1861) yang berarti peraturan tentang hukum ibu. Dalam teorinya, ia menuturkan 4 tingkatan evolusi keluarga:
1. Promiskuitas, keadaan dimana manusia hidup secara bebas
2. Matriarkhat , keadaan dimana ibu lah yang berhak atas anak-anaknya.
3. Patriarkhat, keadaan dimana sang ayah berperan sebagai pemimpin bagi keluarganya.
4. Parental / bilateral , keadaan dimana kedudukan antara ayah dan ibu adalah sama, walau pada hakikatnya laki – laki tetap sebagai pemimpin keluarga, tetapi ibu juga memiliki hak penuh atas anak – anaknya.
c. Teori evolusi kebudayaan
Dikembangkan oleh Lewis Henry Morgan (1818-1881). Ia membuat konsep evolusi masyarakat dalam karyanya “Ancient Society “ (1877). L.H.Morgan dan E.B Tylor mengembangkan aliran teori evolusi linier. Mereka menyatakan bahwa sosial budaya umat manusia di dunia berkembang secara paralel pada tahapan – tahapan yang sama.
d. Teori evolusi religi
Teori ini dikembangkan oleh E.B Tylor . asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Hal ini didasarkan atas 2 azas :
1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal – hal yang hidp dan hal – hal yang mati.
2. Peristiwa mimpi sehingga manusia mulai membedakan jasmani dan jiwanya.
Sumber : Koetjaraningrat.2007.Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia.

III. PENDEKATAN DAN CONTOH TEORI EVOLUSI
Contoh teori evolusi pada perkembangan manusia, pengetahuan, dan teknologi.













http://www.speedytown.com/goodday/index.php/contoh-gambar-teori-evolusi-dalam-versi-kartun/