Rabu, 13 Juli 2011

MATA KULIAH PERSPEKTIF PEREMPUAN DALAM POLITIK : PEREMPUAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM

I. STATUS PEREMPUAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM
Pertentangan terjadi di antara ulama fiqih mengenai kompetensi perempuan dalam aktivitas politik. Sebagian kecil tidak mempersoalkannya, tetapi sebagian besarnya mempermasalahkan persoalan potensi yang dimiliki perempuan dalam kepemimpinan politiknya. Perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua. Gender menyebabkan suatu ketidakadilan bagi kaum perempuan. Negara, biasanya yang menyangkut tentang hukum atau aturan, undang – undang, institusi Negara maupun sistem politik tidak memihak kepada kaum perempuan untuk exist didalamnya. Lingkaran adat istiadat dan keluarga juga menempatkan perempuan terpenjara oleh adat dan kebiasaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tertentu.
Berikut beberapa prinsip dalam buku “Membela Perempuan” karya Ali Hosein Hakeem,dkk yang menjelaskan status kaum perempuan dalam Islam. Dinyatakan bahwa pertama, laki – laki dan perempuan setara dihadapan Tuhan. Keduanya memiliki kesetaraan potensi untuk mencapai kesempurnaan.
Ini tertera dalam Q.S. Ali-Imran : 195
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “ sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiankan amal orang – orang yang beramal di antara kamu, baik laki – laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”(Q.S.Ali Imran:195)
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak pilih kasih bagi siapa saja yang beramal shalih dan tidak ada perbedaan antara laki – laki dan perempuan yang menunjukkan superioritas.
Kedua, laki – laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara terhadap alam. Keduanya memiliki bagian setara dalam memanfaatkan alam dan bertanggung jawab sama dalam menjaganya. Allah berfirman sebagai berikut :
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (Q.S Al Jatsiyah:13)
Di surah lain, Al-Quran menyatakan :
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S Al Baqarah:29)
Semua gender memainkan peran yang sama dalam memakmurkan alam karena manusia memiliki hak untuk memanfaatkan alam dan bertanggung jawab atas keberlangsungannya dan perkembangannya. Allah SWT berfirman sebagai berikut:
Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…. ( Q.S Hud:61)
Ketiga, laki – laki dan perempuan memiliki posisi sederajat dalam struktur masyarakat (sosial) mengenai kesetaraan hak dan tanggung jawab yang diemban laki- laki dan perempuan dalam kaitannya dengan masyarakat tempat mereka tinggal. Ini tertera dalam Q.S An – nisa ayat 1.
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki – laki dan perempuan yang banyak.(Q.S. an-Nisa:1)
Gender apapun yang terdapat di dunia ini, berasal dari sumber yang sama dan tidak seorangpun, baik pria dan perempuan, tidak dapat mengklaim superioritas atas yang lain. Hak dan kewajiban yang terdapat pada pria dan perempuan di dalam kehidupan sosial disesuaikan dengan kapabilitas dan kapasitas masing – masing. Ini bukan berarti menunjukkan sebuah diskriminasi karena diskriminasi mencakup pengambilalihan hak – hak seseorang yang sah dan Islam sangat menentang hal tersebut. Keempat, bahwa dalam pandangan dunia Islam terdapat kesatuan dalam perbedaan. Ini tertera dalan Q.S Al-Hujurat:13.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat:13)
Kelima, antara perempuan dan laki – laki saling membutuhkan agar dapat terintegrasi dan mencapai kesempurnaan. Artinya perempuan ada untuk menyempurnakan pria dan pria ada untuk menyempurnakan perempuan.
Diantara mereka harus bekerja sama dengan bik (dalam hal ini saat pernikahan).

II. PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL, BUDAYA DAN POLITIK
Dalam masyarakat pedesaan, kondisi nyata yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa dalam rumah tangga biasanya perempuan yang menjadi pengelola dalam menyelesaikan proses pekerjaan domestic(Listiani,2002:21). Menurut Lisniati ,pekerjaan domestik adalah kegiatan yang tidak terbatas pada kegiatan rumah tangga (memasak, mencuci,,dll) dan mencari uang, akan tetapi menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat. Ini dilakukan karena melihat fakta bahwa perempuan dinilai lebih mampu bekerja dalam hal membersihkan dan memelihara lingkungan rumah tangganya seperti mencuci pakaian, memasak, dan memelihara anak menjadi tanggung jawab perempuan walau sistem dalam kekeluargaannya adalah patrilineal.
Pada keluarga kaya dan mampu seringkali jenis pekerjaan domestik dikerjakan oleh pembantu rumah tangga, dan mereka sebagian besar adalah kaum perempuan. Mereka bekerja tanpa perlindungan dan tidak memiliki batas waktu. Seperti robot yang setiap saat harus siap diperintah oleh majikan. Sedangkan pada keluarga miskin, seluruh tanggung jawab kerja domestik harus dikerjakan oleh perempuan itu sendiri dan seringkali perempuan juga harus mencari dan mencukupi kebutuhan hidup untuk keluarganya seperti contohnya kebanyakan perempuan di desa, disamping mereka melakukan tugas rutin dalam pemeliharaan rumah tangga dan pengelolaannya, mereka juga harus ke ladang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Durasi waktu yang dihabiskan atau dikeluarkan oleh perempuan lebih banyak dan berat dari pada yang dilakukan oleh laki- laki.misalnya saja perempuan akan bangun lebih awal dan langsung berkecimpug dengan urusan rumah (mencuci, mengelola rumah, mempersiapkan sarapan untuk keluarga), setelah itu pergi ke ladang untuk bekerja di sawah atau jenis pekerjaan produktif lainnya, dan biasanya perempuan juga orang yang paling akhir untuk menuju tempat istirahat.
Sedangkan pria, sebagian besar hanya berorientasi pada jenis pekerjaan produktif saja. Jenis pekerjaan produktif mengacu pada kegiatan kerja yang menghasilkan pendapatan dalam bentuk uang yang dilaukan seseorang guna mencukupi kebutuhan hidup. Laki – laki biasanya lebih dominan perannya dalam ranah politik dibandingkan perempuan.
Selain itu, kontribusi perempuan muslim dalam situasi – situasi darurat selama generasi – generasi pertama, perempuan menunjukkan prioritas – prioritas yang lebih penting dari pada perjuangan bersenjata. Mereka terbiasa memperhatikan pendidikan anak – anaknya dan tidak terlibat dengan urusan suami, atau menyertai pasukan dengan tugas merawat yang terluka dan bertanggung jawab menjaga pembekalan.
Namun, walaupun demikian , ini tidak berarti bahwa perempuan tidak dapat ikut terlibat di mana pun diperlukan. Terdapat sejumlah laporan tentang idde – ide perempuan yang menyelamatkan situasi atau menentukan hasil perang. Misalnya pada perang Maysan, saat kaum perempuan membuat bendera – bendera yang terbuat dari pakaian dan berbaris ke arah medan pertempuran untuk memberi kesan kepada pasukan Persia bahwa pasukan Muslim semakin kuat. Ini menyebabkan pasukan Persia menarik mundur pasukannya. Atau dalam contoh lain, terletak pada Khadijah binti Khuwailid, seorang pebisnis yang menurut sejarah Islam merupakan sosok pertama yang mengakui kebenaran pesan nabi Muhammad saw, yang pada saat itu merupakan suaminya. Melalui Khadijah, banyak keluarga dan teman menemukan jalannya kepada islam.
Aktivitas – aktivitas politik tidaklah berarti identik dengan menjadi penguasa atau dengan perjuangan bersenjata. Makna dari politik adalah membangun suatu komunitas, dan baik laki – laki maupun perempuan tidak boleh melupakan bahwa tanggung jawab ini berawal dari lingkungan terdekat, dalam kehidupan keluarga dan di antara para tetangga dan teman.
Realitas sosial terlihat telah jauh dari ideal – ideal al-Quran dan Sunah. Perempuan hampir sama sekali tak pernah disebutkan. Maka Pada abad ini, perempuan Muslim mulai berjuang mendapatkan hak – haknya, menuntut kesetaraan hak – haknya, menuntut kesetaraan kesempatan dalam bidang pendidikan, penghapusan prostitusi, dan perlindungan dari diskriminasi hukum melalui suara yang sama dengan kolega mereka di bagian Eropa. Perempuan –perempuan seperti Halide Edib-Adivan dan Sultan Jahan Begum, mempelopori upaya dalam bidang pendidikan anak – anak perempuan. Organisasi – organisasi perempuan mempublikasikan berbagai problem dan menuntut solusi – solusi atas semua itu.
Bersamaan dengan upaya penemuan kembali nilai – nilai Islam, perempuan – perempuan teladan dari masa – masa awal Islam seperti Fatimah Az –zahra, Khadijah bin Khuwailid, Maryam, Ummu Salamah, dll dihidupkan kembali. Kontribusi yang signifikan ditunjukkan perempuan lewat program – program serius bagi pembebasan dari pengaruh – pengaruh kolonialisme. Sebagai contoh Fatimah Jinnah yang bekerja sama dengan saudara prianya, Muhammad Ali Jinnah yang mendirikan Negara Pakistan, mempelopori program – program bagi pendidikan perempuan dan proyek – proyek sosial serta tampil sebagai seorang kandidat dalam pemilihan presiden, lama setelah kematian saudaranya. Kaum perempuan juga memainkan peran signifikan dalam pembebasan Aljazair, perlawanan rakyat Palestina, keikutsertaan dalam revolusi Iran, seperti juga dalam gerakan – gerakan Islam lain di seluruh penjuru dunia.

III. PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PEMERINTAHAN ISLAM
Setiap manusia memiliki hak dalam memberikan kontribusi terhadap lingkungannya maka partisipasi sosial dan politik perempuan haruslah didasarkan atas sebuah kehendak bebas tanpa paksaan agar mereka dapat bertindak dalam mengorganisasikan dan mengatur urusan – urusan sosial serta membantu membentuk kehidupan masyarakat yang beradab.
Di dalam Islam, sejauh hukum syariat tidak melarang peran perempuan dalam masyarakat dan menempatkan mereka pada posisi yang netral dan sejauh sumber hukum Islam yakni Alquran dan Hadist menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial,maka perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Partisipasi politik dalam hal ini merupakan suatu kehendak pribadi atau kelompok untuk bertindak dalam rangka meraih kekuasaan untuk memerintah. Perempuan bebas menyuarakan pendapatnya atas suatu hal dan memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
Dan orang – orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka ini akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.(Q.S At – Taubah:71)
Pada surah yang lain Al-Quran berkata :
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasanganya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki – laki dan perempuan yang banyak.dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (Q.S An-nisa:1)
Dengan dasar Alquran ini, seharusnya perempuan tidak dikecualikan dari hak – hak alamiahnya. Pada budaya negara – negara Islam terjadi penolakan untuk menjaminkan hak bagi kaum perempuan untuk berpolitik, padahal tidak ada bukti bahwa hukum syariat menetapkan suatu dasar hukum bagi pelarangan tersebut.
Ini menyebabkan baik dalam skala makro ataupun skala mikro, partisipasi perempuan dalam politik tidak terlalu signifikan. Pada skala makro, dapat dibicarakan mengenai kondisi sosial-politik yang melumpuhkan motivasi berpartisipasi sebagian besar perempuan. Pada skala mikro, para perempuan mendapati masalah utama yang menyebabkan mereka enggan berpartisipasi dalam dunia politik yakni kurangnya kepercayaan diri kaum perempuan terhadap kemampuannya. Pada umumnya alasan dibalik ketidakpercayaan ini terletak pada pendidikan mereka dalam lingkungan keluarga masing- masing.
Dari teks sejarah Islam, selama proses perjuangan politik yang dikaitkan dengan misi dan perjuangan nabi Muhammad SAW dan selama keseluruhan perang dan dakwah yang ditempuh nabi Muhammad Saw, kaum perempuan tidak pernah dikecualikan,dan bahkan mereka diserahi peran yang luas dalam membantu menyebarluaskan agama Islam. Aktivitas – aktivitas perempuan muslim di masa lalu menunjukkan peran penting mereka dalam berbagai aktivitas sosial, budaya, dan politik bahkan telah mencatatkan nama – nama mereka dalam teks sejarah Islam. Mereka diantaranya yakni Khadijah bin Khuwailid, Ummu Salamah, Fatimah Azahra, Mayram, Zainab, Sayyidinah Nafisah, Rabi’ah al-Adawiyah, Syuhda, dll.
Dengan demikian, kaum perempuan memiliki sebuah peran yang luas dalam semua aktivitas politik. Meskipun begitu, masih ditemukan sebuah pendirian, yang dipegang banyak kalangan ahli fikih yang melarang perempuan terlibat dalam jenis aktivitas tersebut, serta membatasi peran perempuan hanya dalam lingkup keluarga dan pendidikan anak. Padahal perempuan memiliki peran yang penting dalam membentuk karakter masa depan. Islam menempatkan perempuan sebagai sumber peradaban, maksudnya disini adalah hanya dari perempuan lah terbentuknya generasi – generasi yang akan datang. Tugas mulia seorang perempuan, melahirkan dan mendidik generasi – generasi akan datang.
Sebagian ahli fikih lainnya juga menyatakan larangan bagi perempuan untuk terlibat dalam proses pemilihan nasional dan larangan untuk mengizinkan mereka mengabdi pada dewan – dewan kota, namun bukan dalam posisi sebagai pemimpin, seperti menteri atau anggota kabinet. Namun, ada pula ahli fikih yang percaya bahwa kaum perempuan dapat meraih segala jenis level otoritas manajerial, kecuali posisi sebagai otoritas eksekutif tertinggi. Alasan mengenai pendirian ini didasarkan atas ayat Al-Quran berikut:
Kaum laki – laki itu adalah penjaga bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain dank arena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lahi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara. Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur meeka, dn pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari – cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Q.S an-Nisa:34)
Di sisi lain sebuah surah menjelaskan lebih dalam lagi mengenai posisi wanita .
….dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S Al-Baqarah:278)
Kedua surah tersebut jika dipahami makna “penjaga” maka ini merujuk pada persoalan rumah tangga, bukan pada bidang pemerintahan. Namun, terdapat sebuah hadist terkenal dari Nabi Muhammad saw ketika diberitahu mengenai penguasa perempuan dari kekaisaran Sassanid, Nabi Muhammad saw bersabda:
“ sebuah bangsa yang meletakkan nasibnya di tangan seorang perempuan tidak akan pernah mendapatkan keselamatan”1
Riwayat hadist di atas bukan muncul sebagai bentuk yang menunjukkan suatu kewajiban. Apabila suatu negara membentuk pemerintahan perwakilan seperti di Indonesia yakni DPR , maka seorang calon penguasa memperoleh kekuasannya melalui majelis perwakilan dan mempersilahkan rakyat untuk melakukan pengamatannya sendiri.
Perempuan bagaimanapun adalah suatu makhluk yang membutuhkan perlindungan, jika dalam keluarga saja perempuan berada 1 tingkat lebih rendah dari pada laki – laki, maka dalam tingkat kehidupan organisasi yang lebih tinggi lagi, laki – laki tetap menjadi penjaga bagi perempuan. Mungkin dalam hal ini lah para ahli fikih sepakat melarang seorang pemimpin itu adalah perempuan.

IV. ANALISIS LAPANGAN TERHADAP PEREMPUAN ISLAM YANG BERPOLITIK
Dari hasil wawancara kelompok dengan beberapa informan, 4 diantaranya yakni ibu Darwina, 55 tahun seorang guru ngaji berkata,”perempuan lebih baik tidak usah berpolitik, karena sebagian besar bentuk politik pada zaman ini menunjukkan kebohongan dan rekayasa belaka. Dan Allah SWT sangat membeci kebohongan. Lebih baik perempuan hidup hanya pada cakupan keluarga saja tetapi yang berorientasi mendidik generasi dan menjadi istri yang shalihah.”



Mateen Quarterly,1999,vol 1, no.2, hal.4.

Informan kedua yakni ibu Ernita, 37 tahun seorang wiraswasta. Ia berpendapat bahwa semua tergantung pemikiran para perempuan, bila perempuan itu kuat agamanya dan ia tahu sampai mana batas kewajarannya dalam bertindak di lingkungan hidupnya, maka berpolitik bukanlah hal yang wajib. Namun, bila si perempuan itu berfikir idealis, maka tidak menjadi masalah baginya berpolitik asalkan ia tahu menentukan sisi baik dan sisi buruk dari apa yang ia kerjakan.
Informan ketiga yakni Ratna Sari, 34 thn, Sekretaris desa pasar VIII Batu Bara. Ibu Ratna menyatakan bahwa jika segala sesuatu disesuaikan dengan syariat Islam, diikuti semua perintah/peraturan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,pasti wanita tidak akan ada yang berani keluar rumah tanpa izin suami, akan tetapi jika dilihat dari perkembangan zaman pada saat ini, akan sulit bagi sebagian perempuan untuk mengaspirasikan apa yang perempuan inginkan jika berpatokan dengan pemikiran awal tadi. Ia kemudian melanjutkan pemaparannya ,“ bagi saya setiap manusia baik laki – laki dan perempuan itu membutuhkan interaksi antarsesama manusia. Jadi dengan prinsip itu saya berpendapat bahwa perempuan boleh berpolitik. Apalagi saat saya di berada di partai, saya pasti akan bertemu dengan teman – teman baik sesama partai maupun partai lain dan baik itu laki – laki maupun perempuan. Politik itu kan bukan hanya sekedar menguasai sesuatu dalam konsep negatif, akan tetapi politik juga dapat dilihat dan diartikan dari konsep positifnya. Saya saat ini adalah seorang janda, tetapi ketika saya dalam ikatan pernikahan, suami saya tidak pernah melarang saya berpolitik. Saya bercerai dengan suami saya karena kami berbeda keyakinan dalam agama.
Informan keempat, Ibu Rasmiwati, seorang bendahara PT Inalum dan seorang anggota partai demokrat. Ketika kelompok tanyai mengenai pendapat beliau tentang peran politik perempuan dalam Islam, beliau memaparkan seperti ini,” perempuan membutuhkan materi lebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, materi ini tidak selalu diperoleh dari suami, tetapi juga dengan cara ia bekerja, dan atau berkuasa atas suatu pekerjaan, maka itu dapat membatunya memperoleh materi lebih. Kalau berbicara tentang Islam, bagi saya asalkan saya tetap menjalankan rukun Islam, saya shalat, saya membayar zakat, infaq, dll, tetap ingat akan kodrat saya sebagai seorang ibu dan seorang istri, maka berpolitik bukanlah hal yang salah.

V. KESIMPULAN
Bagaimanapun sebuah kehidupan pasti selalu terjadi pro dan kontra, maka itu tidak heran jika terjadi perbedaan pendapat para ahli fikih yang memperbolehkan dan melarang perempuan dalam memberikan kontribusinya dalam dunia politik. Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa perempuan merupakan makhluk yang harus dilindungi, bukan sebagai manusia yang melindungi, sehingga apabila seorang perempuan itu menjadi pemimpin suatu Negara maka sesuai dengan hadist nabi yang telah disebutkan di atas, Negara itu tidak akan mengalami keselamatan atau hancur. Namun, sebagian ahli fikih percaya bahwa kaum perempuan dapat meraih segala jenis level otoritas manajerial, kecuali posisi sebagai otoritas eksekutif tertinggi2 .













M.Mahdi Shamsuddin,Preface to the Scale of Women duringthe early Period of Islam,Kuwait:Darul-‘ilm,1990, vol.2 hal.54

DAFTAR PUSTAKA

Hakeem,Ali Hosein.2005.Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama.Jakarta:Al Huda
Listiani,dkk.2002.Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan Kondisi Nyata yang Terjadi di Lapangan.Medan:Bitra
http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/09/peran-politik-wanita-dalam-sejarah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar