Rabu, 13 Juli 2011

TRADISI TEPUNG TAWAR DALAM PROSESI PERNIKAHAN PADA MASYARAKAT JAWA DI KODAM LAMA,MENCIRIM (Sebuah Akulturasi Kebudayaan Jawa dan Melayu di Sumatera Utara)

A. LATAR BELAKANG
Studi yang penulis lakukan adalah mengenai tradisi tepung tawar dalam prosesi pernikahan pada masyarakat Jawa sebagai salah satu pengaruh akulturasi dari budaya Melayu di Sumatera. Fokus penelitian ini terdapat pada pandangan masyarakat Jawa terhadap pelaksanaan tradisi tersebut dan pada pelaksanaan crisis rites yakni masa dimana seorang gadis dan seorang perjaka masuk ke dalam tingkat yang lebih tinggi dalam kehidupannya. Masa dimana sangat dijaga oleh semua keluarga yang dipercaya bahwa masa disaat itu merupakan masa yang kritis, dianggap akan ada gangguan baik dalam bentuk nyata maupun supranatural. Atau anggapan bahwa di masa itu sebaiknya diberi doa penjaga keselamatan / pembekalan dalam bentuk pemberian restu atau ridho seluruh keluarga tidak terkecuali para leluhur.
Dengan itu masa peralihan ini merupakan masa yang sangat dianggap penting dalam hal ini prosesi pernikahan. Dengan studi ini penulis bermaksud untuk lebih mengetahui dan mengenal pemahaman pelaksanaan Upacara tepung tawar berdasarkan segi pandangan masyarakat Jawa yang melaksanakan tradisi ini dalam prosesi pernikahan.
Dimasa yang katanya sudah modern bahkan ada yang beranggapan masa postmodern ini, ternyata masih ada pelaksanaan tradisi – tradisi yang dibawa oleh para leluhur sampai saat ini. Seperti yang diutarakan oleh Simanjuntak,B.A (2007:18) bicara soal tradisi maka secara umum ada konstatering yang mengatakan bahwa sifatnya adalah tidak mudah berubah. Kalaupun ada perubahan biasanya sangat lambat sekali. Menurut pengamatan yang dilakukan terhadap tradisi ini, maka ia menjadi statis karena adanya dukungan filsafat kehidupan sosial pendukungnya. Misalnya suatu anggapan yang berbau kepercayaan agama ialah kalau melanggar kebiasaan nenek moyang, maka roh mereka tidak akan memberi restu. Atau kalau tidak “njenangi” (pada masyarakat Jawa) pada musim tanam padi, maka dewi Sri akan merasa tidak enak, lantas hasil panen kelak tidak akan memuaskan. Percampurbauran kepercayaan keagamaan kepada tradisi nenek moyang ini mengakibatkan sukarnya kestatisan itu ditembus oleh nilai – nilai modern maupun peralatan teknologi maju sekarang ini.
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain yang berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai pedoman dari konsep – konsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2009:154). Dalam pembahasan ini masyarakat Jawa merupakan objek utama dalam pelaksanaan sistem adat istiadat yang termaktub dalam tradisi tepung tawar.
Masyarakat Jawa ada di wilayah Sumatera Utara telah lama. Dalam sejarah Indonesia disebutkan bahwa Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke wilayah Medan sebagai kota terbesar di Sumatera Utara dan Masyarakat Jawa termasuk ke dalam gelombang pertama yang melakukan migrasi ke wilayah Medan. Sistem budaya yang dianutpun tidak luput untuk tetap dibawa oleh para masyarakat Jawa. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya sistem nilai budaya, ritual, norma, adat istiadat, dan pandangan hidup yang dilestarikan di wilayah Sumatera Utara, misalnya pelaksanaan malam satu suro sebagai tahun baru penanggalan Jawa di kelurahan Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Ataupun kesenian tradisional Jaran Kepang atau Kuda Lumping yang sampai saat ini masih ada di sekitar wilayah Sumatera Utara, bahkan para pemainnya tidak hanya memainkan kesenian jaran kepang ini di wilayah masyarakat Jawa seperti Tembung, Lubuk Pakam, Mabar,dll, akan tetapi di wilayah yang memiliki sedikit masyarakat Jawa, seperti di wilayah Kota Indrapura, Batubara.
Begitupun dengan kebudayaan yang masih kental tersebut, ternyata tidak secara keseluruhan budaya Jawa di Pulau Jawa diterapkan atau dilestarikan di wilayah Sumatera Utara. Sedikitnya telah penulis temukan adanya proses akulturasi yang dialami masyarakat Jawa dalam hal ini masuknya budaya upacara Tepung Tawar yang dikenal sebagai budaya Masyarakat Melayu. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan terhadap keberlangsungan suatu budaya masyarakat. Seperti diutarakan oleh Koenjaraningrat dalam http://pardonsimbolon.blogspot.com/, Akulturasi adalah proses sosial yang terjadi apabila kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda, sehingga unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah di dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.


B. PEMBAHASAN
B.1 Masyarakat Jawa di Medan
Etnis Jawa termasuk etnis terbesar jumlahnya di Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Berdasarkan sumber BPS tahun 2000, persentase masyarakat Jawa yang bermukim di wilayah Sumatera Utara sebesar 33,03 %. Masyarakat Jawa banyak ditemui dibeberapa daerah Kabupaten/Kota bekas Keresidenan Sumatera Timur yang dulunya daerah perkebunan asing pada masa kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan dahulu etnis jawa banyak dijadikan buruh di perkebunan pada zaman kolonial Belanda. Pada saat ini etnis Jawa tersebar hampir diseluruh daerah Sumatera Utara. Oleh karena itu proses sosial dalam kehidupan bermasyarakat memungkinkan masuknya pengaruh budaya lain atau akulturasi dalam budaya masyarakat Jawa.
Kedatangan etnis Jawa ke Sumatera Utara berawal dari dibukanya daerah Sumatera Timur oleh Jacobus Nienhuijs pengusaha Firma Van de Arend pada tahun 1863.Nenhuijs melihat daerah antara sungai Wampu dan Ular merupakan daerah yang cocok untuk tanaman tembakau. Setelah mendapat konsesi sewa tanah selama 20 tahun dari Sultan Deli ia membuka perkebunan tembakau dengan pekerja 23 buruh Melayu dan 88 buruh Cina. Pada tahun 1864 Nenhuijs hanya menghasilkan 75 kilogram tembakau kering. Untuk meluaskan areal perkebunannya ia menggalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja, karena jumlah penduduk kota Medan sangat sedikit.Kesulitan mendapatkan tenaga kerja dari daerah Deli membuat Neunijs mendatangkan tenaga kerja dari Cina melalui calo didaratan Cina dan Malaysia (Penang) serta orang Tamil dari India atau disebut orang Keling. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena pemerintah Cina mengeluarkan peraturan yang ketat pada tahun 1880 tentang buruh yang dipekerjakan keluar negeri begitu juga pemerintah Inggris tentang pekerja Tamil yang akan bekerja ke Deli.
Untuk mengatasi kesulitan tenaga kerja Neunijs dan beberapa tuan kebun pada tahun 1880 mendatangkan 150 orang Jawa untuk dipekerjakan didaerah perkebunan tembakau di Deli, ini merupakan awal kedatangan etnis bangsa Jawa ke Sumatera Utara. Kedatangan etnis Jawa ke Sumatera Utara semakin banyak seiring terkenalnya tembakau deli di Pasar internasional.
Para buruh perkebunan luar negeri (Cina dan Tamil) serta orang dari luar Sumatera Timur ini disebut kuli kontrak.Istilah ini diambil dari ‘koeli ordonanntie’ atau kuli kontrak yang ditandatangani para kuli perkebunan dengan tuan kebun. Pada umumnya para kuli dari Jawa tidak mengerti kontrak tersebut, karena mereka kebanyakan tertipu oleh para calo yang merekrut mereka untuk bekerja di Deli. Hal ini menimbulkan perlawanan dan pemberontakan para kuli kontrak terhadap tuan kebun, perlawanan,pemberontakan dan melarikan diri dari perkebunan akan mendapat hukuman berat dari tuan kebun dan para centeng kebun (tukang pukul). Untuk menghilangkan keinginan kembali ke tanah leluhur dan ketergantungan para kuli kontrak terhadap tuan kebun maka Para tuan kebun mengadakan hiburan berupa ronggeng,perjudian,pasar malam, hal ini membuat para kuli kontrak menghamburkan uangnya sehingga tidak ada modal untuk pulang kampung setelah habis kontraknya dan terus memperpanjang kontraknya dengan tuan kebun.

Para kuli kontrak dari Cina setelah selesai masa kontraknya umumnya melakukan kegiatan berdagang dan pengrajin karena umumnya mereka memiliki keahlian sebagai pedagang dan pengrajin.Sementara para kuli kontrak dari pulau Jawa selain tidak memiliki keahlian tetapi juga mendapat perlakuan yang kejam dari para tuan kebun merasa gamang untuk keluar dari perkebunan setelah masa kontraknya habis, sehingga banyak yang hidup secara turun temurun didaerah perkebunan. Setelah proklamasi kemerdekaan etnis jawa bekas kuli kontrak berani keluar dari perkebunan dan berperan dalam berbagai bidang baik ekonomi dan politik.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke wilayah Medan sebagai kota terbesar di Sumatera Utara. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Thionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahan perkebunan berhenti mendatangkan orang Thionghoa, karena sebagian dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Orang – orang Thionghoa bekas buruh perkebunan kemudian di dorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke medan untuk berdagang, menjadi guru, dan ulama.1




1Berdasarkan pemahaman Ketua Departemen Adat,Seni, dan budaya Pengurus Besar Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI), Takari,Muhammad:2010 dalam seminar nasional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan menyatakan bahwa


B.2 Upacara Tepung Tawar
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat – istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep – konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata (Koentjaraningrat, 2009:153). Upacara adat Tepung Tawar merupakan salah satu wujud dimana sistem nilai itu tidak dapat terlihat secara konkret dan mengandung nilai gaib yang sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya itu, maka nilai – nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan.
Upacara adat Tepung Tawar pada era globalisasi kini telah menjadi sebuah keharusan, dan dapat dikatakan menjadi sebuah trend masa kini yang kerap ada di setiap upacara – upacara. Berdasarkan sejarah, dahulu tradisi ini menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat dalam melaksanakan upacara-upacara, baik upacara di dalam kehidupan rumah tangga maupun upacara bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini didasari pada para individu penganut suatu tradisi ini yang sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep – konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka dan masih diterapkan sampai saat ini. Hal inilah yang menyebabkan nilai – nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diubah dengan nilai – nilai budaya yang lain dalam waktu singkat.
Upacara tradisi tepung tawar, umumnya banyak dilakukan masyarakat Melayu dan Suku Dayak terutama di daerah Kalimantan Barat (Kalbar). Tapi pada masyarakat umum, upacara tepung tawar yang dikenal ada empat jenis. Yakni Tepung Tawar Badan, Tepung Tawar Mayit, Tepung Tawar Peralatan serta Tepung Tawar Rumah.
Berdasarkan http://mohd-fajrin.blogspot.com/2011/03/eksistensi-upacara-tepung-tawar-dalam.html, M Natsir S Sos Msi, peneliti budaya pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, memaparkan, dari empat jenis Tepung Tawar tersebut masing-masing mempunyai perbedaan baik yang menyangkut peralatan maupun bahan-bahan yang dipergunakan. Seperti Tepung Tawar Badan, komposisinya terdiri dari tepung beras, beras kuning, bertih, daun juang-juang, daun gandarusa, daun pacar, minyak bau (minyak Bugis). Minyak bau nantinya diolesi pada bagian tubun tertentu dan bagi wanita cukup dengan syarat tidak perlu menyentuh bagian tubuh (pusar).
Tradisi tepung tawar badan juga diperuntukan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut atau naik ayun (naik tojang), juga dalam melaksanakan pernikahan, khitanan bagi laki-Iaki dan perempuan. Objek yang akan diberikan menurut tata cara yang berlaku, serta dilampas dengan memakai daun juang-juang, maupun daun ribu-ribu yang telah di celupkan pada seperangkat peralatan tepung tawar, Adapun bagian-bagian yang dikenakan secara berurutan pada kening, bahu kanan, bahu kiri, tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, serta kaki kiri. Sementara paduan berteh dihamburkan pada kiri dan kanan. Ritual tepung tawar tidak bisa dikerjakan sembarangan. Karena menggunakan lafaz khusus yang tidak bisa diungkapkan disini, perlu terlebih dahulu dilakukan ahlinya.
Tepung tawar bisa juga dilakukan bagi keluarga yang meninggal tiga hari dimakamkan, umumnya dilakukan sebagai peralatan yang dipakai mandi mayit. Peralatan yang disimpan diluar rumah di tepung tawar yang disebut dengan acara pesulli (pembersihan peralatan mayit). peralatan di kehidupan seperti kendaraan sepeda motor, mobil, sampai pada umumnya kendaraan ini dipasang pada saat baru dipakai dan ketika mengalami musibah. Tujuannya untuk meminta keselamatan dengan keyakinan, bahwa masih ada kekuatan gaib yang mempengaruhi di dalam kehidupan dan tetap memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Tepung tawar mayit dengan tepung tawar yang lain jauh berbeda, hanya minyak bau yang tidak dipakai dan diganti dengan telur ayam yang diletakan pada tong tempat air memandikan mayit.
Tujuan dari upacara tepung tawar mayit, agar ahli keluarga yang ditinggalkan senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah. Dapat terhindar dari musibah dengan memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang datang dengan mohon keselamatan. Tidak hanya manusia dan juga peralatan yang telah dipakai dengan wujud terimakasih telah dipergunakan sebagai peralatan mandi.
Pada pelaksanaan ritual tepung tawar mayit, peralatan yang dilampas dengan daun ribu-ribu serta peralatan lainnya. Peralatan yang sudah bersih, baru boleh dibawa masuk kedalam rumah yang sebelumnya disimpan di luar rumah. Telur yang disimpan pada tong dibuang segera. Tempat pemandian mayit ditaburi dengan abu dapur sebagai ungkapan, bahwa di dalam kehidupan semua pasti mati dan yang telah menjadi laksana abu yang kembali ketempat asalnya.
Upacara ritual tepung tawar peralatan sama seperti tepung tawar yang lainnya, hanya tidak menggunakan miyak bau. Biasanya yang ditepung ini adalah kendaraan baru, maupun kendaraan yang telah mendapat musibah. Seperti, setelah kecelakaan atau kendaraan hilang ditemukan kembali.
Kepercayaan masyarakat dengan menepung tawar kendaraan, dimaksud, kendaraan yang dipergunakan bisa membawa keselamatan. Sebaliknya juga bisa mendatangkan musibah, karena kendaraan tersebut mempergunakan bahan-bahan yang terbuat dari besi. Hal ini disebut tua besi, bahwa bisa membawa tuah keberuntungan dan juga bisa membawa kerugian. Kepercayaan ini masih melekat di masyarakat pada umumnya, bahwa besi tersebut mengandung kekuatan gaib, artinya ada penunggunya mahluk halus yang sering mengikuti besi. Sehingga kepercayaan ini tidak tertepas dari memohon, agar kekuatan yang ada dapat menjadi sebuah kekuatan positif, dapat mempengaruhi jiwa pemakainya. Dan meminta izin agar selalu di dalam keselamatan.
Jika ini tidak dilakukan dengan tepung tawar sebagian kepercayaan masyarakat akan mempengaruhi jiwa. Kendaraan bisa menabrak atau ditabrak. Bahkan bisa hilang dicuri, yang biasa diungkapkan dengan kata-kata "sueh?". Lafaz doa yang disebutkan tidak bisa sembarangan melalui tata cara tertentu.
Upacara tepung tawar bagi anak bayi, juga dilakukan dengan upacara ritual dengan segala persiapan yang disediakan bagi ahli keluarga yang mempunyai hajatan. Peralatan yang perlu dipersiapkan dan dengan lengkap, harus sudah ada jika acara dimulai. Adapun perlengkapan alat-alat tersebut antara lain, beras yang ditumbuk dicampur dengan daun pandan dan kunyit dibuat tepung. Daun-daun yang diperlukan untuk alat tepung tawar daun kelapa yang dibuat seperti bunga tapak bebek diberi bertangkai disebut pentawar, dengan jumlah dua buah.
Kemudian daun-daun yang disusun dan diikat, setelah itu dipotong ujung pangkalnya sehingga rata permukaannya disebut tetungkal dengan jumlah tiga buah. Nyiru kecil yang terbuat dari anyaman kulit bambu atau disebut juga layau digunakan untuk mengipas-ngipas badan disebut tudung bakul.
Besi, kayu arus, bekas kayu baker diikat dengan tali disebut mereka pengeras. Benang yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat diikat hatinya menjadi suatu ikatan yang kuat dan kokoh, tak ubahnya seperti benang itu.Tepung yang sudah ditumbuk dan diaduk di dalam tabung bambu yang berukuran garis tengahnya lebih kurang 20 cm, setingginya 18 cm, terbuat dari bambu.
Betung gunanya untuk menyimpan tepung yang sudah diaduk, tabung bambu ini disebut tudung telak. Beras dimasukan ke dalam gantang, sirih, pinang, tembakau, gambir, kapur, uang logam secukupnya disebut pengeras, Beras yang dicelup dengan kunyit disebut beras kuning atau beras kunyit. Anggota yang melaksanakannya tiga orang untuk tetungkainya dan dua orang untuk melaksanakan pentawamya, dengan jumlah lima orang.
Cara melaksanakan tepung tawar ini, setelah tepung diaduk, tetungkal dan penawar yang terbuat dari daun-daun dan daun kelapa itu dicelupkan pada tepung kemudian dicapkan pada kening, tangan kiri dan kanan, pusat, kaki kiri dan kanan dengan membaca selawat nabi doa untuk memohon keselamatan. Setelah selesai upacara tepung tawar, maka dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu menggunting rambut bayi. Undangan yang hadir pada kegiatan tersebut adalah keluarga dan tetangga terdekat.
Teori interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan Veeger (1993:36, dalam Natsir) adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem, struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah "aksi".
Seperti peranan upacara adat yang tergambar akan menjadi sebuah daya rekat masyarakat. Sehingga upacara tersebut semakin sering dilakukan akan semakin dapat mempererat yang sangat berkaitan satu dengan lainnya, sehingga menjadi sebuah kebutuhan dan adanya saling ketergantungan dan keseimbangan di dalam kehidupan bersama.
Kaitan hal ini, Ketua Dewan Kesenian Kalimantan Barat (DKKB), H Ibrahim Salim, menilai, perlunya dilestarikan nilai-nilai ritual upacara adat di era globalisasi dan modernisasi saat ini, seperti tradisi tepung tawar. Pasalnya, di dalam upacara tersebut syarat dengan nilai-nilai didalam kehidupan, terutama kearifan lokal. Bahwa manusia tidak terlepas dari kekhilafan dan kesalahan, selalu memohon ampun dan petunjuk kepada Allah SWT.
Dengan terus melaksanakan kewajiban dalam kehidupan di dunia, saling gotong royong, menghormati yang tua, menghargai lingkungan baik benda-benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak. Karena, barang-barang tersebut mempunyai manfaat bagi kehidupan. “Dan itu adalah bagian dari mahluk Allah SWT, yang tak bisa disembarangkan. Juga air dan lingkungan agar selalu dijaga kebersihannya. Ini digambarkan dengan air tepung tawar, yang dimaksudkan agar jagan saling curiga dan berprasangka buruk dengan yang lain dan mempunyai hati yang bersih.
Selalu mempererat tali silaturahmi dengan saudara-saudara yang ada di sekitar kita, terjaganya rasa solidaritas sesama di dalam kehidupan yang beragam, sehingga tercapai keinginan bersama hidup di dalam ketentraman terhindar dari malapetaka dan dijauhi bencana demi terwujudnya cita-cita semua manusia di muka bumi ini.

B.2.1 Tradisi Tepung Tawar (Upah-upah) di Kotapinang, Labuhan Batu Selatan
Sebelum menelisik tradisi upacara tepung tawar pada Masyarakat Jawa di Sumatera Utara tepatnya di wilayah Mencirim, ada baiknya bagaimana tradisi ini terlaksana pada Etnis aslinya yakni Melayu. Berdasarkan http://kotapinang.wordpress.com/2010/09/04 /tradisi-tepung-tawar-upah-upah-di-kotapinang-labuhanbatu-selatan/ , Tradisi khas masyarakat Kotapinang terbilang cukup banyak, satu di antaranya yakni tradisi Tepung tawar atau Upah-upah. Tradisi Tepung tawar merupakan kegiatan yang sering di dengar pada saat orang pesta perkawinan. Budaya ini merupakan saduran budaya Mandailing dan Melayu di Sumatera Utara.
Tepung tawar dilakukan untuk mengikhlaskan semua kegiatan (segalanya menjadi Tawar), tak ada lagi yang tidak suka, tidak enak, apapun namanya. Kalau di acara perkawinan maka semua yang menepung tawari secara tulus sudah mengikhlaskan segalanya untuk kedua mempelai. Tak ada lagi yang tak sesuai atau tak pantas.
Untuk menepung tawari dibutuhkan ramuan penabur yakni bahan-bahan tepung tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras. Semua sajian ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna keharuman nama dan tepung beras memiliki arti kebersihan hati.
Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut).
Dalam acara tepung tawar juga disediakan pedupaan (dupa) tempat kemenyan atau setanggi dibakar yang tujuannya untuk wewangian saja. Orang yang hendak ditepungtawari biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar. Setelah itu diambil ikatan daun tepung tawar dan dicelupkan ke air tepung tawar dan disapukan di telapak tangan.
Setelah itu, orang yang ditepungtawari (jika lebih muda) mengangkat kedua tangannya (menyembah) kepada yang menepung tawari. Tetapi jika yang ditepungtawari orang lebih tua atau berpangakat, makan yang menepungtawari yang mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan atau terimakasih. Jumlah orang yang menepung tawar biasanya 7 orang dan jika tidak ada yang berpangkat didahulukan orang yang tertua untuk melakukan pertamakali. Orang lebih muda dilarang menepung tawari bertutur, demikian juga wanita yang sedang hamil. Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting. Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren).
Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Setelah itu balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan. Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil kelompok marhaban.
Tepung tawar biasanya dikombinasikan dengan kegiatan upah-upah. Meski begitu pada dasarnya kedua ritual adat ini berbeda sama sekali. Upah-Upah, dilakukan untuk suatu kebanggaan, menjemput semangat, memberi motivasi. Upah-Upah biasanya dilakukan dengan menggunakan Pulut Bale, merupakan suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal (bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala Balai.
Namun secara sederhana dapat juga dilakukan dengan menggunakan cerana/talam letakkan pulut yang direndam kunyit di atasnya di taruh telur ayam. Bale tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah. Menyampaikan kata-kata upah-upah dan diakhiri dengan menyarungkan kain sarung.
Sampai kini kedua tradisi ini masih dijalankan masyarakat Kotapinang. Setiap ada hajatan baik pesta perkawinan, khitanan atau pengayunan dan penabalan nama anak, kedua ritual tersebut tak pernah luput dilakukan. Namun kegiatan ini dilarang bagi sebagian orang yang cukup taat beragam Muslim. Sebab penggunaan ritual ini diyakini telah mensyarikatkan Allah SWT.
B.2.2 Tradisi Tepung Tawar dalam Masyarakat Jawa di Mencirim
Tradisi tepung tawar dalam Masyarakat Jawa di Mencirim ini terlaksana pada hari Sabtu Pagi Pukul 11.00-11.30. Dalam prosesi pelaksanaannya hampir sama dengan pelaksanaannya di Kota Pinang seperti tersebut di sub bab sebelumnya. Hanya saja karena yang melaksanakan merupakan suku Jawa jadi bahan – bahan yang digunakan tidak selengkap bahan – bahan yang ada dalam upacara tepung tawar pada masyarakat Melayu. Selain itu pakaian adat yang dikenakan oleh kedua mempelai adalah pakaian adat suku Jawa.
Menurut Lauer (1989:402-407 dalam http://persada-etnika.com/?p=261), Akulturasi dapat digambarkan sebagai pola penyatuan antara dua kebudayaan, penyatuan antara dua kebudayaan, penyatuan disini tidak berarti bahwa kesamaannya lebih banyak dari pada perbedaannya, namun berarti kedua kebudayaan yang saling berinteraksi menjadi semakin serupa dibanding sebelum terjadinya kontak antar keduanya. Jadi Masuknya unsur budaya Melayu ke dalam budaya Jawa merupakan hasil dari interaksi antar masyarakat. Masyarakat Jawa pada tempo dulu menganggap bahwa tradisi ini merupakan bentuk dari rasa syukur terhadap sang pencipta. Jadi jika di dalam istilah masyarakat Jawa sendiri agaknya hal ini setara dengan pelaksanaan selametan, sebuah tradisi leluhur yang sarat dengan nilai – nilai kesyukuran. Karena adanya kesamaan ini, membuat para masyarakat Jawa menerapkan tradisi upacara tepung tawar sebagai lambang pemberian restu atau doa untuk menjaga keselamatan.
Bahan – bahan yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 1. Dalam lampiran 1 terlihat bahwa terdapat taburan campuran bunga yang didominasi dengan daun pandan,kemudian bunga pacar air, bunga bougenville, Melati, bunga kenanga sebagai wewangian, semangkuk melati, semangkuk beras kuning, semangkuk air yang berisi campuran jeruk purut, semangkuk bedak putih, dan seikat dedaunan yang terdiri atas 7 macam bahan yakni daun kalinjuhang ( lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket), gaun ganda rusa (lambang perisai gangguan alam). Daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh (lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, dan keseharan), rumput sembau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut).
Berbeda dengan tradisi tepung tawar di kota pinang, di Mencirim pada masyarakat Jawa tidak menyediakan pendupa (dupa) tempat kemenyan atau setanggi yang dibakar. Orang yang ditepungtawari duduk di atas pelaminan. Sebelumnya pihak keluarga laki – laki bersiap – siap untuk pergi ke lokasi rumah yang berbeda dari rumah mempelai. Ia harus izin terlebih dahulu dengan pihak keluarga mempelai perempuan. Para keluarga mempelai laki – laki bersiap – siap berjalan ke rumah keluarga mempelai laki – laki dengan membawa 2 buah bale yang berisi pulut kuning dengan inti yang dihiasi dengan ukiran – ukiran bahan, di dalamnya diletakkan telur sebagai teman makan pulut. Biasanya telur ini dibagikan kepada siapa saja yang mau dan pada umumnya anak – anak lah yang mendominasi untuk mengambil telur – telur dari bale yang ada. Lalu sampai lah keluarga mempelai laki – laki ke kediaman mempelai perempuan, orang tua dari mempelai perempuan menerima mempelai laki – laki sebagai pendamping anaknya dilihat dengan disatukannya kedua mempelai dengan sebuah kain panjang dengan posisi ibu di ujung sebelah kiri dan ayah di ujung sebelah kanan dan mengiringi mereka naik ke atas pelaminan yang telah tersedia dengan iringan nyanyian syahdu oleh para marhaban. Setelah itu baru lah prosesi tepung tawar dapat dilaksanakan. Dimulai dengan keluarga mempelai wanita yang pertama kali diberikan oleh ibu, ibu membacakan doa sebelum mencolekkan campuran sedikit bedak putih dengan air, menaburkan simbol beras kuning di atas kepala kedua mempelai, menaburkan bunga melati dan yang selanjutnya memercikkan campuran air jeruk purut dan dedaunan di atas telapak tangan dan keseluruhan tubuh (biasanya bagian kepala). Lalu kedua mempelai menyalami orang yang menepungtawari sebagai wujud terima kasih atas doa dan restu yang telah diberikan. Selanjutnya dilakukan oleh ayah mempelai perempuan, saudara - saudara laki – laki tertua dalam khinsip of therminology pihak ayah yang kemudian disusul dengan orang tua mempelai laki – laki dan para saudara – saudaranya yang tertua.
Setelah usai prosesi tepung tawar, para hadirin dipersilahkan makan dengan jamuan yang telah disediakan. Penulis sempat menanyakan kepada keluarga mempelai dan saudara – saudaranya mengapa tradisi ini dilakukan. Dan mereka menjawab “ pada umumnya tradisi ini dilakukan dalam upacara pernikahan, jadi karena sejak dulu para leluhur di wilayah Sumatera Utara membiasakan menerapkan tradisi ini, maka tidak heran jika para generasinya di masa ini juga melakukannya”. Yang lain menambahi “ ini merupakan wujud bahwa si mempelai telah direstui dan di beri bekal doa oleh seluruh keluarga baik pihak laki – laki maupun pihak perempuan”. Artinya sama dengan yang di utarakan oleh Simanjuntak,B.A (2007:19) bahwa tradisi itu mengandung kekuatan yang sifatnya supernatural, yang kebanyakan sukar untuk dibuktikan dengan akal, tetapi cenderung untuk lebih diyakini tanpa komentar. Teori Karl Menheim dan Max Weber tentang tradisi menggambarkan bahwa tradisionalisme itu adalah suatu sikap jiwa yang berdasar pada kebiasaan sehari – hari, yang dipercayai sebagai suatu sikap tetap menganut pola yang berhubungan erat dengan pertumbuhan cara hidup lama ( kuno). Dimana dipercayai secara jujur way of life seperti itu terdapat dimana – mana secara universal.

Sama halnya dengan pelaksanaan upacara tepung tawar di kota Pinang, para kaum muslimin menganggap ini adalah perbuatan mensyarikatkan Tuhan. Dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sehingga agaknya aneh jika para jemaah haji misalnya melakukan tradisi upacara tepung tawar ini.

B.2.3 Tepung Tawar dalam kacamata Islam
Menurut Tambusai, Musdar Bustamam dalam http://www.rumahsehataliman.com/index.php?option=com_content&view=article&id=88:tepung-tawar-dan-ruqyah-syariyyah-beda-&catid=38: berita&Itemid=82) bahwa Tepung tawar merupakan tradisi atau budaya yang sering dilakukan dalam acara keagamaan. Padahal sedikit pun tidak ada hubungannya dengan Islam. Oleh karena itu, tradisi ini perlu ditinjau ulang untuk dilakukan kembali dalam upacara keagamaan yang sarat dengan ajaran mulia seperti ibadah haji. Walaupun ada upaya untuk mengkait-kaitkan tradisi ini dengan ajaran Islam, kita berharap tidak perlu dipublikasikan sebab tidak semua adat atau tradisi dapat dijadikan hukum. Syaikh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh mengatakan bahwa uruf (kebiasaan) atau adat terbagi dua, ada yang benar (‘urf shahih) dan ada yang rusak (‘urf fasid). Yang pertama harus benar-benar dijaga agar tetap bertahan, sementara yang kedua tidak perlu dipelihara. Karena ‘uruf shahih adalah apa yang telah menjadi kebiasaan orang banyak dan tidak bertentangan dengan syari’at. Sementara ‘uruf fasid adalah apa yang telah menjadi kebiasaan orang banyak tapi bertentangan dengan syari’at atau menghalalkan yang haram. Oleh karena itu, ‘uruf bukanlah dalil yang independen (berdiri sendiri) sehingga dapat terlepas dari dalil-dalil yang asasi (pokok) yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Jika sesuai dengan kedua sumber utama itu, lanjutkan. Tapi jika tidak, maka lebih cepat ditinggalkan, itu lebih baik.
B.2.4 Tradisi Selametan Masyarakat Jawa
Tradisi ini agaknya mempunyai tujuan yang sama dengan upacara tepung tawar. Istilah selametan kiranya lebih kental dalam masyarakat Jawa. Dalam buku “Manusia dan Kebudayaan Indonesia” karangan Prof.Dr.Koentjaraningrat (2007:347) selametan adalah suatu upacara makan berrsama makanan telah diberi doa sebelum dibagi – bagikan. Selamatan itu tidak terpisahkan dari padangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur – unsur kekuatan sakti maupun makhluk – makhluk halus tadi. Sebab hampir semua selametan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan – gangguan apapun. Hal intu juga terlihat pada asal kata nama upacara ini sendiri, yakni kata selamat. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai mesjid yang antara lain berkewajiban mengucapkan adzan. Ia dipanggil karena dianggap mahir membaca doa keselamatan dari dalam ayat – ayat Alquran.
upacara selametan ini biasanya digolongkan ke dalam 4 macam, sesuai dengan ritus peralihan kehidupan manusiayakni 1) selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara tedhak siten, dll. 2) selametan yang bertalian dengan bersih desa, 3) selametan yang berhubungan dengan hari – hari atau bulan – bulan besar Islam. 4) selametan pada saat – saat tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian – kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya.dll. dari keempat macam upacara selametan, selametan dalam rangka lingkaran hidup sesorang adalah yang paling sering dilakukan hampir seluruh masyarakat Jawa.


C. PENUTUP
Masyarakat Jawa memandang tradisi tepung tawar sebagai bagian dari kebudayaannya. Lingkungan dan kontak secara langsung dan terus menerus berperan penting dalam pembentukan pandangan tersebut. Hal ini senada dengan konsep yang dipaparkan oleh Harsoyo (http://dh3m0echan.wordpress.com/2010/10/18/akulturasi/), Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.
Tradisi tepung tawar sebagai tradisi dari unsur budaya lain (diluar budaya sendiri) merupakan salah satu contoh dari masih berkembangnya nilai – nilai budaya di era modern ini. Kearifan lokal dijaga sebagai cara dalam mengatur hidup dan menyeimbangkannya dengan alam gaib dan alam nyata. Kearifan lokal yang dianggap sebagai falsafah hidup dijunjung sebab karenanya kerukunan, kedamaian, dan keselarasan dalam lingkungan dapat terbentuk. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Permbaurannya terhadap lingkungan dan kebudayaan lain di luar kebudayaannya membuat ia belajar bagaimana beradaptasi dengan sekeliling dan menghargai kebudayaan orang lain. Bagi sebagian masyarakat Jawa di Sumatera Utara menggunakan tradisi tepung tawar dalam ritual atau upacara tradisional yang dilakukan merupakan hal yang biasa dan hasil proses sosialnya terhadap kebudayaan sekilingnya. Bagaimanapun kebudayaan suatu etnis sejauh masyarakat dari kebudayaan lain menganggap dan menilai positif setiap ritual, maka bukanlah suatu kesalahan dan kegengsian untuk menerapkannya dalam setiap peristiwa ritual khususntya crisis rites.


DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat,Donald K.Emmerson (ed.). 1982. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
---------------------. 2007. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan
---------------------.2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Simanjuntak,B.A.2008. Kapita Selekta Teori – Teori Antropologi dan Sejarah Sosiologi. Medan: BMP
Soekanto, Soerjono. 1982.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo
http://ruslihasbi.wordpress.com/tanya-jawab/akidah/eb/
http://www.rumahsehataliman.com/index.php?option=com_content&view=article&id=88:tepung-tawar-dan-ruqyah-syariyyah-beda-&catid=38:berita&Itemid=82
http://www.berita86.com/2010/10/ritual-tepung-tawar-iringi.html
http://coretanchayi.blogspot.com/2011/04/tepuk-tepung-tawar.html
http://mohd-fajrin.blogspot.com/2011/03/eksistensi-upacara-tepung-tawar-dalam.html
https://kotapinang.wordpress.com/2010/09/04/tradisi-tepung-tawar-upah-upah-di-kotapinang-labuhanbatu-selatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar