Rabu, 13 Juli 2011

RITUS TAHUNAN : TRADISI MALAM SATU SURO PADA ETNIS JAWA SEBAGAI WUJUD KEARIFAN LOKAL DI ERA GLOBALISASI

A.LATAR BELAKANG
Malam satu suro merupakan salah satu ritus tahunan yang hampir setiap tahun dirayakan oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat Jawa yang berada di daerah Yogyakarta, Surakarta, dan Solo. Malam satu suro merupakan suatu pergantian tahun pada penanggalan Kalender Jawa. Sama halnya dengan tahun baru pada umat Islam yang dimulai dengan tanggal 1 Muharram tahun Hijriah atau sama halnya dengan tahun baru Masehi yang dimulai pada tanggal 1 Januari Tahun Masehi. Berdasarkan pada http://alihidayat.blog.ugm.ac.id/2010/11/02/tradisi-malam-1-suro-di-surakarta/ , malam 1 Suro sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik, perubahan tahun tetapi juga mempunyai dimensi spiritual. Orang Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa bertepatan dengan tahun Hijriyah, menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis.
Ritus tahunan malam satu suro pernah mengalami kemunduran. Kebudayaan lokal tampaknya pelan – pelan mengalami ancaman yang mengarah pada kepunahan. Para generasi muda tidak lagi memahami kebudayaannya sehingga dapat mengarah pada lunturnya identitas dan kehilangan karakter. Pemahaman dan minat terhadap aksara, seni, adat – istiadat, mengalami kemunduran. Hampir tidak ada lagi generasi muda yang mengetahui dan memahami aksara, seni, dan adat – istiadat warisan leluhurnya padahal hal itu mengandung nilai budaya berupa kearifan lokal.1
1 Makalah ilmiah oleh Robert Sibarani, Guru besar tetap Universitas Sumatera Utara, Ketua LPPM USU, Rektor Universitas Darma Agung, dalam seminar ilmiah dengan judul ” Melestarikan Kearifan Lokal sebagai Nilai Budaya dalam Membangun Karakter Bangsa di Kota Medan” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan,bulan Desember 2010.
Pernyataan itu ternyata didukung dengan meredupnya tradisi ini kira - kira Sebelas tahun lalu, diakibatkan oleh adanya upaya penggusuran tradisi secara sistematis antara lain dengan cara menempelkan stigma negatif pada acara tersebut. Namun sejak gempa besar di Jogja pada 27 Mei 2006 , masyarakat seolah seperti terbangun kesadarannya, bahwa selama ini telah melupakan nilai-nilai luhur warisan para pendahulu bangsa. 2
Saat datangnya malam tahun baru, orang harus melakukan mesu diri (melakukan laku spiritual) dengan berkosentrasi pada penguasaan diri (mawas diri) selama semalam suntuk. Artinya masyarakat Jawa tidak tidur semalam pada malam 1 Suro tersebut. Selain itu mereka juga melakukan jamasan pusoko yakni memandikan barang pusaka dan mengadakan kenduri, selamatan / syukuran. Suro sebagai Bulan Pertama atau Awal Tahun dalam Hitungan Jawa, dianggap sebagai Awal Bulan yang dipenuhi dengan Harapan , agar dalam menjalani Kehidupan di dalam Tahun tersebut menjadi Lebih Baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana Harapan Orang-Orang pada umumnya dalam menyambut Pergantian Tahun atau Tahun Baru.
Berbicara kearifan lokal (local wisdom), agaknya akan menjadi suatu hal yang bertentangan tatkala terdapat hal – hal atau ritual – ritual yang dalam kepercayaan agama merupakan suatu hal yang bertentangan dengan nilai – nilai luhur dari ajaran agama atau. Akan tetapi demi mencari keseimbangan dalam kehidupan, orang – orang yang menjalaninya menganggap kearifan lokal ini merupakan wujud untuk menciptakan kedamaian, keselarasan dengan alam, dan kebahagiaan dalam masyarakat. Seperti yang diutrarakan oleh Robert Sibarani dalam seminar sehari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, Kearifan lokal merupakan pengetahuan asli (indigeneous knowledge) masyarakat sejak dahulu yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur hidup masyarakatnya. Kearifan pada suku bangsa di Indonesia lebih dimaknai sebagai falsafah, yakni pandangan hidup, cara hidup, dan kebiasaan hidup.
2 Tersedia di http://sabdalangit.wordpress.com/201...isu/#more-1631
Hal itu dibedakan dari filsafat sebagai pengetahuan atau ilmu yang mengkaji falsafah. Prinsip kearifan lokal bukan semata – mata kebenaran, tetapi lebih luas berusaha untuk mencari keseimbangan dengan meminimalkan kerugian, kekecewaan, kerusakan, penderitaan, dan hal – hal negatif lainnya. Dengan demikian, kearifan lokal berusaha untuk menciptakan kedamaian, perdamaian, dan kebahagiaan masyarakat. Berbagai etnik termasuk etnik – etnik di kota Medan hingga saat ini masih menyimpan falsafah atau kearifan lokal itu dalam mengatur kehidupan mereka meskipun ”kadang – kadang bertentangan” dengan pemahaman generasi muda dan tatanan kehidupan modern karena kekurangpahaman mengenal kearifal tersebut.
Berdasarkan tribun news, para pelaksana ritual baik itu pihak keraton ataupun masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan pakaian bewarna merah dalam ritual kirap pusaka. Ini menghindari agar kebo kyai slamet tidak mengamuk.
Dalam antropologi (Koentjaraningrat, 1985:243) mengemukakan bahwa upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara. Begitupun dengan tradisi malam satu suro ini. Ada berbagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sebagai pelaksana dalam upacara ini, mempersiapkan alat – alat upacara, melaksanakaan rangkaian ritual, dan sebagainya. Hal ini akan diperjelas dalam sub bab pembahasan. Pada dasarnya Orang-orang Jawa menjalani ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah mengharapkan perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya.



B.PEMBAHASAN

B.1 Sejarah awal Mula malam satu Suro
Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.
Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul. 3
1 Syura adalah awal tahun Muharam, tahun Islam yang telah ditranskulturisasi dengan tradisi ritual Jawa kuno. Karaton Mataram menerima dan mengembangkan ide transkulturasi terutama sejak Sultan Agung dari Karaton Yogyakarta. 1 Syuro menjadi bagian penting dari sebuah siklus kehidupan manusia.

3 Tersedia di http://sekarputih.blog.com/
Ia menandai bergantinya Naga Dina dan Naga Tahun, yakni berubahnya sifat dan karakter kosmis, berserta dunia Gaib, yang secara langsung diyakini mempengaruhi kehidupan manusia dibumi.
Orang Jawa melengkapi ritual kehidupan itu sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Maha Tinitah, yang diyakini sebagai Dzat Suci yang memberi hidup dan menghidupi. Seluruh gerakan bersama, manusia dan alam, roh-roh dan kehidupan gaib, semuanya berasal dari kekuasaanNya.
Oleh sebab itu, pergantian tahun adalah terjadinya pergantian kosmis, yang disebut sebagai siklus cakramanggilingan. Yaitu, kehidupan diasumsikan berputar silih berganti seperti berputarnya roda. Ada saat jaman keemasan (age d’or), ada saat jaman mengalami masa kegelapan, kalabendu (age de sombre). Di jaman yang bergulir manusia harus selalu eling dan waspada.
Apa wujud dari perilaku eling dan waspada salah satunya dengan cara menjalankan ritual malem 1 Syura. Saat datangnya malam tahun baru, orang harus melakukan mesu diri (melakukan laku spiritual) dengan berkosentrasi pada penguasaan diri (mawas diri) selama semalam suntuk. Dalam situasi yang khusyuk tersebut, diri orang Jawa melebur ke dalam dunia yang tengah berubah. Memanjatkan kepada Yang Maha Agung doa dan permohonan serta rasa syukur terhadap berkah dan innyayah yang selama ini diterimanya. Dalam kesempatan ini pulalah, seseorang membaca perubahan yang akan terjadi di tahun mendatang. Petunjuk akan apa yang terjadi pada masa depan sangat penting bagi orang Jawa, terutama untuk menyikapi Naga Taun dan mengantisipasi Bencana dan menyiapkan Berkah yang mungkin bisa diberikan kepadanya.
Bagi Raja sebagai rasa tanggung jawab kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, yang telah memberikan kuasa kepadanya, maka Raja melakukan kirab menjenguk setiap sudut rumah-rumah warga, dengan harapan tuah dan berkahnya dapat memasuki setiap pintu rumah-rumah. Raja membagikan kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian batin dan kekuatan hidup dengan cara gaib. Apabila tidak semua pintu rumah warga dapat dilalui, maka orang-orang yang jauh dari jalur kirab berdatangan di pinggir-pinggir jalan yang dilalui dengan harapan memperoleh tuah dan berkah yang sama. Raja beserta dengan pusaka-pusaka, yang belakangan ditambahkan dengan binatang Kebo Bule sebagai cucuk laku, adalah manifestasi yang sama untuk mempromosikan dan penjelasan secara simbolik antara Raja dengan Masyarakatnya.
Inti penjelasan dan promosi itu adalah upaya memperoleh dukungan dan legitimasi secara spiritual bahwa Raja adalah penguasa tunggal, sebagai wakil Tuhan di bumi. Tugas itu dijalankan agar masyarakat tetap mempercayai Karaton sebagai Pusat Dunia, yang menjamin terwujudnya masyarakat yang aman, adil, makmur, dan sejahtera (gemah ripah lohjinawi kerta tur raharjo).
“Rukun Jawa” Lengkaplah menjadi orang Jawa apabila seluruh “rukun Jawa” sudah dijalankan. Sebagaimana rukun Islam berjumlah lima, dan rukun kelima adalah haji dengan cara salah satunya adalah melakukan thowab di Ka’bah. Rukun Jawa, penulis sarikan menjadi lima rukun. Artinya, orang Jawa lengkap menjadi Jawa apabila telah menjalankan laku sebagai berikut: Rukun, Hormat, Halus, Asih dan Laku.
Rukun yang terakhir itulah yang dijalankan oleh orang Jawa, yaitu berjalan mengelilingi Karaton tujuh kali. Setiap pojok Karaton mengucapkan puja dan puji syukur, disertai dengan permohonan-permohonan. Maka malem 1 Syura adalah salah satu wujud hubungan antara Manusia dengan Khaliknya, dalam upaya mencari keseimbangan dan keserasian hidup dengan penuh harap di tahun mendatang memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Rukun Kelima : Malem 1 Syura bagi orang Jawa adalah malam teropong kehidupan. Seorang teman bersamadi tepat jam 00 dengan khusyuk sekali. Ia menjalani laku, “rukun kelima”. Dalam laku tersebut, ia menceritakan bahwa mata batinnya melihat perubahan kosmis Naga Taun seperti gelombang mengamuk. Ia berdiam diri lalu pergi menjalankan tapa bisu sambil berjalan dari rumah menuju Karaton. Lalu, dijalanilah tujuh kali putaran mengelilingi Karaton. “Lengkaplah sudah jadi orang Jawa” katanya. Ia menceritakan kepada saya bahwa mata batinnya sekali lagi tidak melihat sinar yang cerah dalam kosmis yang tengah berubah. Inilah yang disebut tanda-tanda kehidupan disharmoni di tahun 2010 yang perlu mendapatkan pencerahan.
Apa yang harus dilakukan sebagai orang Jawa menghadapi situasi yang tidak menentu dan agar supaya memperoleh pencerahan? Pertama, adalah penguasaan diri (mawas diri), yakni mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri apa yang sudah dilakukan dan apa saja yang ingin dilakukan. Kedua, membaca tanda-tanda zaman, yakni mencermati setiap perubahan yang terjadi disekitar kita sehingga secara dini mampu mengantisipasi dan memutuskan tindakan apa yang terbaik untuk selamat dari bencana. Ketiga, eling dan waspada, dengan cara selalu ingat kepada Yang Maha Kuasa, dan selalu waspada terhadap tindakan manusia dan alam yang bersangkut paut dengan kehidupan kita.
Ngalap Berkah Ritual malam 1 Syura sebagai manifestasi dari rasa syukur orang-orang Jawa dan malam penuh harapan agar kehidupan di setahun ke depan lebih baik, kirab malam 1 syura adalah medan gaib yang dipercaya mampu mendatangkan berkah. Apa saja yang diperoleh dari Karaton, baik berupa percikan air dari jamasan pusaka, kotoran kerbau bule yang menjadi cucuk lampah, atau apa saja lambang-lambang yang diterima setiap orang yang datang ngalap berkah malam itu, semua pribadi memperolehnya dengan cara yang unik.
Setiap orang menerima lambang-lambang khusus, yang memberi tanda berkah yang khusus pula bagi setiap orang. Kebo Bule adalah simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Kerbau juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja di Karaton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan oleh Raja beserta rakyatnya. Kyai Slamet adalah sebuah visi Raja. Secara harfiah, visi Karaton Surakarta adalah ingin mewujudkan keselamatan dunia yang sempurna. (2008).
B.2 Peringatan dan Rangakaian Acara Malam Satu Suro
Pada umumnya Rangkaian peringatan malam 1 suro dilakukan dengan menggelar kirab pusaka mengelilingi tembok istana Mangkunegaran. Upacara kirab pusaka dilepas langsung oleh pemangku Istana Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegor IX, di pringgitan istana. Rombongan berangkat melakukan kirab Senin malam sekitar pukul 19.30 WIB. Selanjutnya mereka mengelilingi tembok istana membawa pusaka dengan berjalan searah jarum jam.
Ada lima buah pusaka yang dikirabkan, empat diantara berupa pusaka jenis tombak dan satu pusaka lainnya tidak kelihatan bentuknya karena ditempatkan dan disusung di atas joli atau tandu tertutup. Setelah mengelilingi tembok istana sekali putaran, rombongan abdi dalem peserta kirab kembali memasuki istana untuk mengembalikan pusaka ke dalam istana.
Tradisi Jawa
Pada tahun 2007, peringatan ritus tahunan dilakukan dengan melaksanakan berbagai ritual. Tidak sedikit, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta.
Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.
Pantai Parangkusumo
Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini.
Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya.


Wayang Kulit Semalam Suntuk
Tradisi dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.
Cepuri Parangkusumo
Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.
Kirab Pusaka Kraton
Setiap malam 1 muharam atau terkenal malam satu Suro , maka kraton Solo akan menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Kraton, ikut serta juga dalam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule ( Kerbau ) yang di juluki Kebo Kyai Slamet . Acara kirab pusaka ini berangkat dari kraton Solo tepat pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa jalan protokol di kota Solo dengan di iringi oleh punggawa istana dan para pasukan istana. Upacara ini di gelar untuk menghormati dan sekaligus memperingati Bulan Suro ( Muharam ) .
Kegiatan Kirab ini hingga sekarang selalu menjadi salah satu momentum yang paling meriah di kota Solo , dan selalu menarik minat masyarakat kota Solo pada khususnya untuk melihat dan mengikuti prosesi ini . Banyak juga masyarakat di sekitar kota solo , bahkan dari luar kota dan para turis asing sangat antusias mengikuti acara tradisional tersebut .
Apabila upacara kirab yang di ikutkan di dalamnya Kebo kyai slamet tersebut benar benar sangat di tunggu oleh masyarakat . Acara yang sudah menjadi kegiatan rutin Kraton solo tersebut , selainkan menampilkan mitos dan legenda kebo kyai slamet , juga bermacam macam keris dan tosan aji istan lainnya yang di arak keliling dengan sebuah prosesi upacara spiritual dan kental sekali dengan budaya Jawa . (tersedia di : http://forum.detik.com/malam-satu-suro-t98782.html?t=98782)

Malam Satu Syuro di Pura Mangkunegaran
Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Syura, masyarakat memperingatinya dengan berbagai cara. Ada yang tirakatan, membaca tahlil, dan sebagainya. Khusus di Keraton Solo, peringatan itu ditandai dengan kirab.Upacara Malam 1 Suro (1 Muharam) merupakan tradisi peringatan pergantian Tahun Baru Jawa yang menjadi ritual tahunan dalam budaya Jawa. Pada peringatan tahun baru Jawa yang dilaksanakan pada hari Senin - Selasa, 6 - 7 Desember 2010, terdapat rangkaian upacara peringatan pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam 1 Suro 1944 BE di Kabupaten Kulon Progo. Diselenggarakan sejumlah kegiatan ritual budaya di dua lokasi, yaitu di Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh dan di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo bekerja sama dengan masyarakat dan komunitas seni di sekitar Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh menyelenggarakan acara Kethoprak Lesung Tamba Lara. Dan pada saat yang sama di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon juga dilangsungkan ritual Ruwatan Sukerto dan pagelaran wayang kulit.
Keesokan harinya, Selasa 7 desember 2010 atau tanggal 1 Suro 1944 BE atau 1 Muharam 1432 H di Puncak Suroloyo dilaksanakan Jamasan Pusaka Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Manggala Dewa di Sendang Kawidodaren. Prosesi jamasan dimulai dengan kirab yang terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat setempat, diikuti gunungan hasil bumi serta rombongan kesenian tradisional dari kediaman sesepuh Dusun Keceme menuju sendang Kawidodaren. Kedua pusaka tersebut dijamasi di Sendang Kawidodaren. Biasanya masyarakat dan pengunjung kegiatan ritual ini akan memperebutkan Udik-udik berupa hasil bumi. Banyak orang percaya bahwa hal ini untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertanian semakin melimpah.
Sedangkan di Gunung Lanang akan diadakan Labuhan Uba Rampe Ruwatan yang akan dilabuh di Pantai Congot. Arak-arakan labuhan akan dimulai dari Sanggar Pamujan Gunung Lanang menuju ke Pantai Congot dengan membawa uba rampe ruwatan berupa sesaji berupa hasil bumi, potongan rambut dan pakaian para peserta ruwatan yang nantinya akan dilabuh di laut selatan.
Kedua rangkaian upacara ritual ini selalu dikunjungi oleh banyak wisatawan dan peserta upacara dari berbagai penjuru daerah dalam dan luar DIY, kebanyakan adalah pelaku ritual kejawen dan wisatawan yang ingin melihat peristiwa adat tahunan ini. ( tersedia di : http://www.kulonprogokab.go.id/v2/sitemap?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1315)

Lain halnya lagi di Surakarta, peringatan malam satu suro dilakukan dengan mengadakan berbagai ritual. Orang-orang Jawa menjalani laku ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya. Lelakoning kanthi laku, yang dimaksud adalah laku spiritual. Setiap anggota masyarakat, anggota komunitas tertentu, atau institusi menjalankan tirakat dengan berbagai cara. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll.
Sedangkan di Karaton Surakarta atau di Mangkunegaran melakukan kirab dan jamas pusaka. Masyarakat berjalan mengelilingi keraton dengan harapan menyempurnakan laku sebagai orang Jawa. Tempat-tempat sakral menjadi ramai dikunjungi, terutama Karaton Solo dan Mangkunegaran, pantai Parangtritis, Kahyangan, Gunung Lawu, dan tempat para Dahyang bertempat tinggal.. Mereka ada yang dilakukan di rumah, di sanggar ada juga yang masjid dan di langgar, bahkan di jalanan.
Lain lagi di Solo, Setiap malam satu Syuro, di Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura. Dalam ritual itu KGPAA Mangkunagoro melepas kirab pusaka dengan berjalan dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan.
Demikianlah, selalu saja muncul peristiwa yang seakan-akan hendak menembus batas logika berpikir setiap kali peringatan malam 1 Sura digelar di Pura Mangkunegaran. Menariknya, berebut bunga atau udhik-udhik itu hanyalah salah satu di antaranya. Di luar itu masih ada peristiwa lain yang tak berbeda jauh.
Misalnya saat usai kirab pusaka. Sebuah pemandangan menarik kembali terjadi, ketika rute kirab itu kemudian disusuri kembali oleh puluhan warga, baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Dengan berjalan kaki, mereka berlaku diam saat menyusuri rute kirab mengelilingi beteng Pura.
Bagi masyarakat awam, peristiwa itu barangkali dipandang sebagai sebuah keanehan yang sulit dipahami. Namun bagi yang masih meyakini tentu tidak demikian. Mungkin bunga atau rute kirab itu memiliki seribu makna yang melengkapi laku bagi yang masih memercayai.
Tak hanya di Pura Mangkunegaran, di Keraton Surakarta pun muncul peristiwa serupa saat kirab pusaka digelar. Hanya medianya yang berbeda. Tidak hanya bunga dan berjalan kaki, di sana masih ada lagi sarana laku lain yang sering menjadi rebutan warga yang hadir.
Sebut saja janur yang dipasang di sebagian sudut Kamandungan. Saat kerbau Kiai Slamet belum keluar, janur itu telah habis menjadi rebutan ratusan warga yang memadati halaman keraton. Sebuah pemandangan yang lagi-lagi mungkin akan dipandang tak masuk akal, jika cuma dilihat dari sudut kebendaannya.
Peristiwa yang lebih terasa aneh lagi terjadi saat kerbau Kiai Slamet dikirab berkeliling ke sebagian wilayah Kota Solo.
Pada saat itu kadang-kadang ada sebagian warga yang berusaha memperoleh kotoran atau tletong kerbau milik keraton tersebut, kemudian dibungkus dan dibawa pulang. Berbagai peristiwa aneh itu bagai tak pernah lekang oleh zaman. Selalu saja muncul tatkala malam 1 Sura datang di Keraton dan Pura. Seribu alasan pun terungkap. Ada yang menjawab untuk ngalap berkah, namun ada pula yang sekadar melakukan tradisi.

Kebo Bule di Karaton
Kehadiran Kebo-kebo bule di tengah Kirab malem 1 Syuro oleh Karaton Surakarta Hadiningrat melahirkan beragam pertanyaan baik bagi turis asing maupun orang-orang di luar etnis Jawa, bahkan orang-orang Jawa sendiri. Stasiun TV nasional dan kantor berita asing pernah menanyakan kepada saya tentang makna apa yang termuat atas kehadiran kerbau-kerbau yang menduduki posisi terdepan dalam ritual kirab malem 1 Syura.
Bagi orang-orang Solo sendiri, Kebo Bule Karaton yang berjumlah 12 ekor tersebut dipercaya mempunyai mukjisat atau kekuatan gaib, termasuk binatang yang dikeramatkan. Banyak cerita seputar Kebo-kebo bule itu yang dianggap bukti adanya kekuatan gaib dan punya mukjisat dan keramat itu. Menurut kisahnya, orang-orang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke Karaton, bagaimana mungkin sampai di sana yang jaraknya lebih dari 250 Km dari Karaton Solo. Juga pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih dari 100 km dari Karaton, di Wonogiri dan kota-kota lain.
Gaibnya adalah ketika ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya di malem 1 Syura. Tanpa diundang sebelum malam 1 Syura tanpa diketahui datangnya, mereka sudah berada di Karaton menunggu tugasnya yang mulia, Sang Penuntun (cucuk lampah) dalam kirab Karaton. Tidak diketahui bagaimana cara kebo itu pulang, tiba – tiba saja ia sudah berada di tempatnya.
Keramat.

Pelajaran Kebo Bule
Orang sering meremehkan keberadaan Kebo Bule karena mungkin sosoknya binatang. Pada hal, kebinatangannya sangat mulia dari kemanusiaan yang dipunyai manusia. Maka jangan sekali-kali melihat sesuatu makluk dari jenisnya, tetapi haruslah dilihat dari sifat dan karakter perilakunya. Tepat kiranya, para Raja Karaton Surakarta Hadiningrat akhirnya memilih dan menempatkan kedudukan paling depan kepada Kebo Bule itu, karena memang ia mempunyai nilai luhur yang patut dicontoh oleh manusia, sebagai Sang Penuntun.
Bayangkan saja, peranannya tidak tanggung-tanggung, sebagai cucuk lampah. Ini peranan yang utama dan sangat mulia. Ia adalah pengawal, penunjuk jalan, karena Raja melihat bahwa mata batinnya, meskipun fisiknya Kebo Bule, tetapi mempunyai daya linuwih dibandingkan manusia yang sudah terinfeksi oleh halunisasi dan virus-virus materi serta imajinasi surga dunia.
Tidak heran jika di malem 1 Syuro orang-orang ramai-ramai memperebutkan kotoran Kebo Bule. Ini adalah bukti nyata bahwa Kebo Bule mempunyai kekuatan gaib, yang dipercaya orang-orang Jawa mampu mendatangkan berkah. Bahwa yang sebenarnya, adalah bentuk penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi dan kemuliaan yang dimiliki oleh Kebo Bule.
Agaknya, orang-orang Jawa memandang Kebo Bule bukan saja simbol, tetapi benar-benar menjadi panutan. Sebagai Sang Panutan, ia adalah binatang bijak, sabar dan kuat. Ia dengan sukarela menyerahkan dirinya untuk menjadi korban dalam ritual-ritual, ia dengan senang hati membantu petani membajak sawah di tengah terik matahari dan hujan lebat, ia pun di malam 1 Syura dengan tulus iklas dan suka cita, mengawal Raja Kasunanan, para Pangeran, Adipati, Tumenggung dan Pusaka-pusaka Keramat Keraton Surakarta Hadiningrat. dan bersyukur.

B.3 Penanggalan tahun Hijriah dan Tahun Jawa
TRIBUNNEWS.COM - Menurut Tahun Saka (Jawa) yang sekarang ini telah mencapai hitungan ke 1944. Untuk tahun ini datangnya tanggal 1 Suro 1944 bertepatan pada malam Selasa Wage tanggal 1 Muharram 1432 Hijriah atau 7 Desember 2010 Masehi.
Perbedaan kalender jawa dengan kalender Hijriah yakni kalender Jawa relatif lebih tetap sifatnya atau relatif tidak ada perubahan dari dulu sampai sekarang. Jikalau dilakukan penghitungan maka waktu jatuhnya lebih dapat di pastikan sementara kalender hijriyah mengikuti pergerakan bulan jadi bisa bergeser 1 hari / 2 hari.
Akan tetapi suroan acap kali dianggap sama dengan tahun Hijriah,
jadi misalnya untuk 1 sura 1945 tahun WAWU Windu Kuntara akan jatuh pada tanggal 27 November 2011. tanggalnya pasti, akan tetapi kalau 1 muharam bisa jadi kurang dari tanggal tersebut atau bisa lebih dari tanggal tersebut.
Ke dua sistem penanggalan tersebut memang sama - sama menggunakan sistem penanggalan Qomariyah atau lunar sistem, hanya saja yang membedakan ialah di kalender jawa sudah di pastikan 5 pasaran yang berulang dan 7 hari yang berulang
(jika menganut sistem saptawara).

Nama Hari Siklus 7 hari, Saptawara = Padinan:
Radite = Akad
Soma = Senen
Anggara = Slasa
Budha= Rebo
Respati = Kemis
Sukra = Jemuwah
Tumpak/Saniscara = Setu

Asal kata dan Arti nama Hari (Padinan)

Akad (minggu), berasal dari kata Arab “ahad”, yang berarti hari pertama.
Senen (Senin), berasal dari kata Arab “istnain”, yang berarti hari kedua.
Slasa (Selasa), berasal dari kata Arab “tsalatsah”, yang berarti hari ketiga.
Rebo (Rabu), berasal dari kata Arab “arba’ah”, yang berarti hari keempat.
Kemis (Kamis), berasal dari kata Arab “khamsah”, yang berarti hari kelima,
Jemuwah (Jum’at), berasal dari kata Arab “jumu’ah”, yang berarti hari untuk berkumpul,
Setu (Sabtu), berasal dari kata Arab “sab’ah” (sabat), yang berarti hari ketujuh.

Hubungan pasaran, empat unsur dan Sedulur 4 itu adalah sebagai berikut :
Pasaran Legi bertempat di Timur, Anasir (elemen) Udara, memancarkan sinar putih.
Pasaran Paing bertempat di Selatan, anasir Api, memancarkan sinar merah.
Pasaran Pon bertempat di Barat, anasir Air, memancarkan sinar kuning.
Pasaran Wage bertempat di Utara, anasir Tanah, memancarkan sinar hitam. Pasaran Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, anasir Eter, memancarkan sinar manca warna.
Dalam penetapan 1 Suro, pihak kraton menggunakan penanggalan atau kalender internal kraton yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang merupakan cikal bakal dinasti Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alaman di Yogyakarta.
Setiap malam 1 Suro Kraton Surakarta selalu menggelar rangkaian upacara adat kraton. Salah satu acara yang selalu mendapat perhatian umum adalah kirab pusaka milik kraton yang didahului dengan mengarak kawanan kerbau pusaka milik kraton.
Meskipun Istana Mangkunegaran merupakan salah satu pecahan dinasti Mataram, namun dalam peringatakan 1 Suro atau 1 Muharam, mereka menggunakan dasar kalender yang ditetapkan Pemerintah. (tersedia di http://www.detiknews.com/read/2010 /...irabkan-pusaka)

B.4 Orientasi Nilai Budaya C.Kluckhon terhadap Ritus Tahunan Orang Jawa
Setiap bangsa memiliki sesuatu yang dinilai dan dihargai sangat tinggi. Bahkan dianggap sebagai nilai yang sangat menantang dalam pengaturan dan pengendalian kehidupan sosial kultural bangsa tersebut. Hal tersebut dinamakan oleh para ahli dengan nama “ Sistem Nilai Budaya Bangsa”. Sistem nilai budaya merupakan suatu konsepsi yang abstrak dan tinggi, merupakan dasar dari semua aturan – aturan sosial yang berlau, antara lain adat-istiadat, norma – norma, hokum adat dan kebiasaan sosial, sistem sosial dan lain – lain. (Kahl,J.A, 1988:9, dalam Simanjuntak,B.A 2010:2).
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat – istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep – konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata (Koentjaraningrat, 2009:153).
Dalam tiap mayarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai pedoman dan konsep – konsep ideal dalam kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut C.Kluckhon berkaitan dengan orientasi nilai budaya, terdapat 5 hakekat yang melandasi individu atau kelompok menentukan pada taraf mana sistem nilai budaya yang masih dianut., yakni:
1. Masalah hakekat dari hidup manusia ( selanjutnya disingkat dengan MH)
2. Masalah hakekat dari karya manusia ( selanjutnya disingkat dengan MK)
3. Masalah hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu ( MW)
4. Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ( MA )
5. Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM)

Didalam bukunya The Measurement of Modernism (1968), Kahl mengatakan ada 14 unsur nilai budaya yang harus dipercayai bahkan harus diikuti setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang yang Modern. Unsur unsur nilai budaya tersebut dinamakan Core of Modernism. Core itu terdiri dari:
1.Pandangan aktif terhadap hidup
2.Tidak banyak tergantung kepada kaum kerabat
3.Kecondongan orientasi terhadap kehidupan kota
4.Bersifat individualism
5.Kecondongan terhdap hubungan dan pergaulan yang demokratis
6.Membutuhkan media massa
7.Berpandangan sama rata terhdap kesempatan untuk maju dalam hidup
8.Kurang percaya dan bersandar kepada bantuan orang lain
9.Tidak memandang rendah pekerjaan lapangan dan pekerjaan tangan
10.Keseganan terhadap organisasi luar
11.Mengutamakan mutu dan hasil karya
12.Keberanian mengambil resiko dalam usaha dan karya
13.Orientasi terhadap keluarga inti yang kecil
14.Kebutuhan rendah terhadap aktivitas irrational dala hidup

Khal memandang orang modern adalah orang yang memandang hidup itu secara aktif, kreatif, dan tidak mau tergantung lagi kepada nasib. Sikap hidupnya yang aktif merencanakan setiap pekerjaan dan masa depan, memandang masa depan itu sebagaimana yang harus dihadapi dengan keberanian dan ketekunan dengan mempergunakan kemampuan diri sendiri, baik fisik, maupub rohani dan ilmu pengetahuan. (Simanjuntak,B,A, 2010: 3-4)
Setelah diketahui kelima hakekat tersebut, maka dapat diartikan bahwa cara masing – masing kebudayaan mengonsepsikan kelima masalah universal tresebut berbeda – beda. Pada hakekat pertama yakni masalah hakekat dari hidup manusia, berdasarkan pemahaman penulis kiranya tidak dapat disimpulkan dalam analisis kuantitatif bagaimana sebenarnya secara jelas dikarenakan belum dilakukannya penelitian secara analisis kuantitatif terhadap Orang Jawa dan sistem nilai budaya yang dimiliki masyarakat Jawa. Akan tetapi berdasarkan pemahaman penulis terhadap etnis Jawa, maka dalam penilaian sikap masyarakat Jawa merupakan mayarakat yang lembut, lemah, ramah, dan memiliki nilai toleransi yang tinggi, akan tetapi suka mendendam oleh karena cenderung senang menahan amarah dan banyak pertimbangan. Karena menghindari percekcokan maka etnis jawa acap kali menelan rasa sakit atau rasa dendam terhadap orang lain ( konflik tertutup atau covert conflict), sehingga acap kali etnis Jawa sering menggunakan kekuatan gaib sebagai cara untuk membalas keburukan orang lain terhadapnya. Jadi jika diistilahkan orang Jawa itu “ diam – diam makan dalam”.
Berdasarkan MH, menurut penulis ( karena belum dilakukan penelitian secara langsung, jadi penulis menarik kesimpulan terhadap beberapa sample yang beretnis Jawa di Sumatera Utara) masyarakat Jawa masih berorientasi tradisional tentang hakekat hidup sebab mereka cenderung beranggapan bahwa hidup hanya sementara dan kita harus mempersiapkan bekal untuk hidup diakhirat.
Berdasarkan Hakekat Karya, melihat dunia birokrasi, wirausaha, dan sbgnya yang cenderung dipenuhi oleh Orang Jawa, maka dalam MK, Orang Jawa sudah mulai berorientasi progresif terhadap apa sebenarnya hakekat karya itu. Terhadap Hakekat alam, masyarakat Jawa masih berorientasi tradisional sebab masih banyak tradisi atau ritual – ritual yang disuguhkan untuk alam yang bertujuan agar alam tidak marah dan tetap menjaga keselarasan maka harus diberi sesajen. Sedangkan dalam hakekat waktu, bagi masyarakat Jawa ada yang menganggap bahwa waktu sangat penting, maka jangan sampai diabaikan, sebagian yang lain mengabaikan waktu, menganggap waktu adalah sesuatu yang tidak perlu dipikirkan atau tidak penting. Maka, dalam hal ini masyarakat Jawa sedang dalam masa peralihan. Dan hakekat hubungan manusia dengan manusia, masyarakat Jawa msh berorientasi tradisional bahwa mereka masih membutuhkan bantuan orang lain, orang Jawa masih mengharapkan orang lain misalnya tetangga atau saudara – saudara dapat membantu tatkala ia mengalami kesulitan. Dan yang terakhir hakekat


C.PENUTUP
Ritus tahunan merupakaan ritus yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Dan pada umumnya setiap peringatannya dirayakan dengan meriah. Begitu juga halnya dengan ritual malam satu suro merupakan ritus tahunan masyarakat Jawa yang dianggap sebagai tahun baru kalender Jawa atau secara tidak langsung merupakan tahun baru masyarakat Jawa. Pada umumna dilakukan ritual – ritual seperti kirab pusaka, tapa bisu, kungkum, tirakatan atau pagelaran wayang kulit, nyekar di Cepuri Parangkusumo, Kethoprak Lesung Tamba Lara, ruwatan, jamasan atau memandikan benda pusaka, dan selamatan. Semua ritual bertujuan untuk bersyukur dan mengahrapakan keadaan yang lebih baik lagi d tahun yang baru. Peringatan 1 suro bertepatan dengan 1 muharam pada kalender umat islam yakni kalender Hijriah.


D.DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat,Donald K.Emmerson (ed.). 1982. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
---------------------. 2007. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan
---------------------.2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Simanjuntak,B.A.2008. Kapita Selekta Teori – Teori Antropologi dan Sejarah Sosiologi. Medan: BMP
---------------------.2010. Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya). Jakarta : Obor
http://sekarputih.blog.com/
http://forum.detik.com/malam-satu-suro-t98782.html?t=98782
http://www.tribunnews.com/2010/12/13/tradisi-suran-akulturasi-budaya-jawa
http://www.detiknews..com/read/2010/...irabkan-pusaka
http://berita.liputan6.com/daerah/20...enteng.Keraton
http://sabdalangit.wordpress.com/201...isu/#more-1631
http://www.tribunnews.com/2010/12/08...berwarna-merah
http://sudimampir.blogspot.com/2010/12/melihat-dari-dekat-tradisi-kejawen.html
http://othervisions.wordpress.com/2010/12/07/mitos-malam-satu-suro-di-gunung-lawu/
http://masterbungkang.blogspot.com/2010/06/malam-satu-suro-di-parang-kusumo.html
http://bungkang.blogdetik.com/2010/06/30/malam-satu-suro-di-parang-kusumo/
http://hadirwong.blogspot.com/2010/03/malam-satu-suro.html
http://hileud.com/malam-1-suro-istana-mangkunegaran-kirabkan-pusaka.html
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091217041658AA4tuLm
http://alihidayat.blog.ugm.ac.id/2010/11/02/tradisi-malam-1-suro-di-surakarta/

1 komentar:

  1. maaf sebelumnya mb saya izin membaca dan copy buat referensi tugas saya, makasih mb :-)

    BalasHapus