A. Latar Belakang Masalah
Slametan merupakan suatu upacara makan yang terdapat pada Suku Jawa yang terdiri atas kemenyan, sesajian, makanan simbolik yang mengandung beberapa unsur, sambutan resmi, dan doa. Peserta upacara Slametan ini memandangnya sebagai suatu kesatuan dari kehidupan mereka sebagai makhluk sosial. Selain itu mereka juga menganggap bahwa Slametan merupakan bagian dari Orang Jawa yang menjadi suatu tradisi lokal yang harus dilestarikan. Secara umum, Upacara tradisional ini merupakan upaya manusia untuk mencari keSlametan, ketentraman, menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus (suatu keadaan yang disebut slamet). Alasan utama untuk menyelenggarakan Slametan meliputi perayaan siklus hidup (life cycle); menempati rumah baru; dan panenan; dalam rangka memulihkan harmoni setelah perselisihan suami – istri atau tetangga; untuk menjaga barang – barang atau benda benda yang dianggap penting untuk dijaga seperti kendaraan, binatang ternak, dll; untuk menangkal akibat mimpi buruk seperti gigi putus ( dalam primbon Jawa artinya akan terjadi kemalangan seperti sakit atau pertanda kematian pada kerabat atau saudara); dan yang paling umum untuk memenuhi nazar atau janji. (misalnya, seseorang berjanji akan menyelenggarakan Slametan apabila anaknya sembuh dari sakit) (Variasi Agama di Jawa).
Slametan, suatu kegiatan yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis (Geertz,1960:11), akan tetapi pada kehidupan realitas masyarakat Jawa di Desa Tembung, interpretasi seorang Jawa akan berbeda – beda dalam menanggapinya khususnya ketika upacara ini menyatukan semua orang dalam perspektif bersama mengenai konsepsi sang pencipta, keyakinan, dan manusia. Upacara Slametan ini sesungguhnya tidak mewakili pandangan siapapun secara khusus. Walau semua orang Jawa setuju dengan berlangsungnya upacara ini, akan tetapi hadirin secara perseorangan belum tentu sepakat akan maknanya. Slametan memang merupakan suatu tradisi lokal yang bagi Orang Jawa yang mampu, merupakan suatu kearifan lokal untuk melaksanakannya, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya keaslian tradisi tersebut berkurang, misalnya dengan tidak adanya lagi pembakaran kemenyan, ataupun sesajen bagi persembahan kepada roh – roh halus atau makhluk supranatural. Di salah satu tempat di Desa Tembung ini, terdapat satu keluarga yang melaksanakan Slametan hanya dengan sebuah doa dan bubur merah dan bubur putih sebagai lambang dari permintaan keSlametan. Namun disisi lain, ada juga masyarakat Jawa di Kabupaten ini yang menyuguhkan bubur merah dan bubur putih di atas pintu rumah mereka atau di titik – titik daerah tertentu dalam sebuah bungkusan daun pisang (sesajen) untuk para leluhur atau roh – roh halus yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa akan menjaganya dari keburukan atau perbuatan jahat.
Beberapa masyarakat Jawa yang sudah mengalami difusi, asilimilasi, dan akulturasi dengan kebudayaan – kebudayaan lain di Sumatera Utara tampaknya cenderung melaksanakan Slametan dengan simbolisme yang berbeda seperti di Pulau Jawa (namun masih tersirat kesakralan tradisi tersebut). Pendapat ini ditegaskan oleh seorang Jawa di Desa ini yang memaparkan bahwa tradisi yang sesungguhnya di Jawa masih kental, disini tidak berjalan begitu lancar. Ini dikarenakan lebih dominannya keberadaan dan keyakinan mereka terhadap agama Islam dan tidak adanya regenerasi yang bersedia melanjutkan tradisi ini. Para pemuda Jawa sudah tidak berkeinginan untuk melanjutkan tradisi – tradisi Jawa dan mereka cenderung mengonsumsi ala modernisme seperti sibuk di warnet, bermain PS, dan lain - lain.
Disamping itu implementasi tradisi Slametan ini agaknya keliru antara apakah itu tuntutan atau peraturan yang tertuang dalam hukum agama Islam atau tuntutan yang merupakan budaya / ciptaan manusia dalam agama Jawa dan ataukah sebuah tradisi yang kerap kali memasukkan unsur ibadah di dalamnya sehingga membuat itu menjadi bid’ah. Karena kerap sekali dalam pembukaan acara Slametan puji – pujian dan penutupan doa, simbol – simbol yang ada ditujukan kepada Allah SWT, para nabi, sahabat – sahabat nabi dalam kaitannya pada Agama Islam.
Persoalan – persoalan perbedaan interpretasi dan realitas inilah yang menggelitik pemikiran peneliti untuk mengungkapkan makna Slametan dalam masyarakat Jawa di Desa Tembung saat ini, proses pelaksanaannya dan kesepakatan mereka terhadap perbedaan interpretasi Slametan tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, dibuatlah identifikasi masalah, pembatasan masalah hingga di dapatkan sebuah rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut rumusan masalah yang ingin diketahui Jawabannya:
- Bagaimana interpretasi warga Desa Tembung terhadap makna upacara Slametan ini?
- Apakah dengan perbedaan interpretasi ini para warga Desa Tembung akan tetap dapat menjaga keselarasan antara sadulur (sesama saudara se-Jawa? Apa arti penting tradisi Slametan ini bagi warga Desa Tembung?
- Bagaimanakah prosesi upacara dan nilai simbolis yang terkandung dalam upacara tradisi Slametan yang saat ini diterapkan masyarakat Jawa di Desa Tembung? Apakah menghilangkan tradisi asli dari Jawa yang memasukkan unsur animisme, ajaran Hindu, Ajaran Islam, dan lain lainnya dalam satu paham yakni Sinkritisme?
- Bagaimana kaitan tradisi Slametan ini dengan ajaran agama Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
- Untuk mengetahui interpretasi Slametan pada masyarakat Jawa di Desa Tembung.
- Untuk mengetahui tingkat kerukunan / keselarasan masyarakat Jawa kaitannya terhadap perbedaan interpretasi Slametan di Desa Tembung.
- Untuk mendeskripsikan prosesi dan nilai simbolis yang terkandung dalam Upacara Tradisi Slametan di Desa Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
- Untuk mengetahui kaitan tradisi Slametan ini dengan ajaran agama Islam.
- Untuk mengetahui arti penting dari tradisi ini karena selain bertujuan agar dijaga keSlametannya oleh sang Pencipta, sisi positif yang lain dari pelaksanaan Slametan ini adalah sebagai wadah berbagi rezeki kepada tetangga - tetangga, atau salah satu usaha untuk menjalin silaturahmi.
- Hasil penelitian in dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji tradisi Slametan.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan analisis bagi perkembangan dunia ilmu antropologi budaya khususnya tentang pemahaman teori fungsional struktural. Dari kajian ini akan diperoleh gambaran makna dan fungsi secara fungsional struktural terhadap tradisi Slametan yang merupakan penghubung antara kehidupan manusia/sesama manusia dan Sang Pencipta/Tuhan atau makhluk supranatural.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan pada masyarakat luas tentang perbedaan interpretasi Slametan pada masyarakat Jawa saat ini akibat perubahan – perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Disamping itu kiranya hasil penelitian ini dapat bermanfaat juga untuk khalayak pembaca dalam memahami upacara tradisi Slametan.
E. Landasan Teori
Secara etimologi Slametan berasal dari kata selamat dan akhiran -an. Dalam bahasa arab identik dengan kata as-salamatu yang berarti selamat, aman dan tentram atau berarti alkhuluwu minal ‘aibi. Ditinjau dari pengertian tersebut Slametan berarti segala sesuatu yang dibuat dan dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keSlametan dari segala macam gangguan atau bahaya yang mengancam ketenangan dan kemapanan seseorang.
Slametan telah dikaji pada tahun 1960 dalam sebuah buku berjudul “The Religion of Java” karya Clifford Geertz. Geertz menyebutkan dalam pernyataannya sebagai berikut:
“ di pusat keseluruhan sistem agama Jawa, terdapatlah suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis, itulah Slametan.” (1960:11, dalam ….. : 39)
Selanjutnya Geertz memaparkan terdapat unsur – unsur yang esensial bagi Slametan. Ia mengaitkan Slametan cenderung terdapat pada agama Jawa yang menggabungkan unsur – unsur kebudayaan yang masuk dalam suku Jawa atau yang disebut dengan sinkritisme. Berbicara agama Jawa, maka ini tidak dapat dipisahkan dari tiga varian kelompok agama karya Geertz, yakni priyayi, santri, dan abangan. Priyayi merupakan golongan bangsawan yang kemudian menjadi birokrat, dan yang sebangsanya; santri adalah muslim yang taat pada ajaran agama Islam, terdapat di pesisir utara pulau Jawa, di daerah – daerah peDesaan di mana terdapat sekolah – sekolah tradisional Islam, dan di kalangan para pedagang di perkotaan; abangan adalah mayoritas petani, yang walau secara nominal adalah Islam, tetapi terikat dalam animisme Jawa dan tradisi nenek moyang (penganut sinkritisme).
Aktifitas Slametan merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia atas (makhluk halus ataupun Tuhan), (Ani Rosiyati,1994). Dalam konsep antropologis, Slametan berada pada struktur kedua yang mana merupakan media penghubung antara sesama manusia dan makhluk supranatural ataupun Tuhan. Dianggap oleh sebagian orang Jawa tradisi ini dapat memberikan keselarasan antara dunia atas dan dunia bawah.
Tradisi ini dari waktu ke waktu mengalami perubahan walaupun makna atau inti dari Slametan itu tetap sama. Keadaan ini tampaknya juga dirasakan pada masyarakat Jawa di Desa Tembung yang tengah mengalami transisi tradisi ke ala modern. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal yakni: pengaruh zaman yang sudah modern/maju sehingga membuat orang (Jawa) lebih berpikir secara nalar dan rasional, perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, pengaruh kebudayaan luar / asing, pengaruh agama (terutama agama Islam), orang mulai berpikir secara ekonomis( biayanya lebih baik untuk hal yang lebih penting), dan karena ketidakmampuan orang karena kemiskinan dan biaya yang dikeluarkan untuk upacara tersebut.
Slametan di suku Jawa beragam, dan sesajian serta makanan – makanan simbolik yang disuguhkan pun berbeda sesuai dengan jenis dan tujuan dari Slametan itu sendiri. Seperti yang dipaparkan Koentjaraningrat (1984) mengenai Slametan daur hidup : Jenis-jenis Slametan yang berkaitan dengan daur hidup dikenal dengan nama kurenan, tedak siten, khitanan, perkawinan, bedah tanah, dan sholawatan. Duá jenis Slametan terakhir dijalankan dalam kaitannya dengan kematian. Slametan penanggalan dikenal dengan nama Slametan suranan, muludan, ruwahan, sedekah apem, dan sedekah bumi.
Slametan di pulau Jawa: Slametan dilaksanakan setelah matahari terbenam di ruang depan rumah. Selembar tikar persegi empat digelar, seperangkat sesajen diletakkan di salah satu ujung yang lebih dekat dengan dapur. Rokok, bunga, dan sebungkus bedak muka ditaruh di atas bantal dan ditempatkan di ujung tikar yang berseberangan dengan sesajen. Di sebelah kanan ( sisi “laki – laki”) diletakkan cerek berisi air; disisi kiri (“perempuan”) terdapat perangkat makan sirih, dan di depan terdapat sebuah lampu kecil, sebuah uang logam, sebuah piring yang berisikan lima kelompok bubur dengan lima warna, sebuah mangkok berisi buah pinang, sebuah piring berisikan bubur merah dengan sedikit bubur putih ditengahnya, dan segelas air berisikan helai bunga berwarna merah, kuning, dan putih. Macam makanan yang disajikan tergantung pada jenis dan tujuan Slametan. Seringkali ada sebuah kerucut terbuat dari nasi yang ditempatkan pada sebuah tampah bambu, yang disebut tumpeng serakat, ayam bakar diletakkan pada tampah yang lain, nasi ketan yang dibungkus dengan daun kelapa berbentuk bulat panjang atau persegi empat, dan sebagainya.
Tuan rumah menyampaikan sambutan dalam bahasa Jawa Halus yang menjelaskan maksud acara itu kepada para tamunya, kemudian kemenyan dibakar, doa dalam bahasa Arab dibaca oleh para tamu, makanan dibagikan dan disantap sedikit, dan sisanya dibawa pulang. Secara khusus, hadirin dalam upacara ini mendoakan nenek moyang tuan rumah, roh – roh halus yang ada dalam rumah, para nabi Muslim, para tokoh Hindu Jawa, dan Adam dan Hawa dalam nuansa politeistik yang tampaknya melanggar garis Muslim murni.( Variasi Agama di Jawa). Pada masyarakat Jawa di Desa Tembung.
Nilai simbolik pada sesajian dan makanan simbolik yang dihidangkan pada upacara tradisi Slametan.
Nilai merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang selalu dihargai, dijunjung tinggi, dan selalu disejajarkan oleh manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai manusia dapat merasakan kepuasan, baik lahir maupun batin. Dengan nilai pula manusia akan mampu menentukan sikap, cara berpikir, maupun cara bertindak demi mencapai tujuan hidupnya. (Kundharu Saddhono)
Kata simbol berasal dari kata Yunani yakni symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta (2003: 654), simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai kemakmuran.
Kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Begitu erat kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, maka tidak berlebihan bila manusia tersebut sebagai makhluk bersimbol. Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang jelas membedakannya dari hewan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bisa melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung tetapi melalui simbol-simbol (Herusatoto, 1987: 10)
Simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat dalam upacara-upacara tradisi adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi yang lebih tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Herusatoto (1987:10) mengatakan bahwa kata simbol secara etimologi berasal dari bahasa Yunani symbolus yang memiliki makna tanda atau ciri-ciriyang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Menurut Nurgiyantoro(1995:9) mengatakan bahwa simbol merupakan tanda yang paling canggih, karenaberfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan pemerasaan.Simbol merupakan salah satu inti kebudayaan dan simbol sebagai salah satu petanda tindakan manusia. Oleh karena itu, simbol dan tindakan mempunyai kaitan. Simbol berupa benda, tetapi sebaliknya tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai alat bertindak (Herusatoto 1987:20)
Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional pada dasarnya upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup, dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbolisme dalam masyarakat tradisional disamping membawakan pesan-pesan kepada generasi berikutnya juga selalu dilaksanakan dalam kaitannya dalam religi (Herusatoto, 1987 : 30-31). Unsur unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut Koentjaraningrat adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kasusasteraan, keyakinan keagamaan, ritual, ilmu gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. ( Koentjaraningrat,1984).
Diantara unsur – unsur yang paling penting dalam sesajian dan makanan simbolik pada upacara tradisi Slametan adalah pasangan bubur merah dan sedikit bubur putih ditengahnya, dan piring berisikan bubur lima warna ( jenang manca warna). Warna putih dan merah adalah simbol – simbol primer dalam pemikiran masyarakat Jawa. Dalam Slametan bubur merah dan bubur putih merepresentasikan air mani ayah dan darah melahirkan seorang ibu yang pertama kali dianggap Adam dan Hawa sebagai perwujudan ayah dan ibu saat melahirkan Habil dan Qabil. Oposisi lain sebagai siang dan malam atau kanan dan kiri. Ini berarti dalam menghormati orang tua seseorang yang sudah meninggal, ia harus menjaga keSlametannya sendiri. Bubur lima warna atau jenang manca warna disebut juga dulur papat lima badan artinya bersaudara empat, badannya lima. Empat saudara sekandung adalah roh – roh penjaga dari perbuatan jahat. Biasanya hanya dua yang disebut : cairan amnion dan sesudah lahir, secara berurutan saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda dari otang yang bersangkutan dan semuanya membentuk susunan empat. Identitas saudara yang lain tidak begitu jelas. Dalam Slametan dulur direpresentasikan oleh sebuah piring yang mengandung empat kelompok bubur nasi yang berorientasi ke arah mata angin, hitam ke utara, merah ke selatan, kuning ke barat, dan putih ke timur. Di tengah terdapat satu kelompok berwarna hijau atau campuran keempat warna tadi; manca warna, (aneka warna). Bagian tengah, jelas menunjukkan orang yang bersangkutan, focus dan asal mula keempat arah di atas. Itulah kalimat,”empat bersaudara, diri sendiri (self) yang kelima”. (Variasi Agama di Jawa).
Terdapat kelompok masyarakat yang sepakat mengenai pentingnya perangkat empat saudara atupun sesajen dan bubur merah – putih, tetapi sebagian kelompok masyarakat yang lain memandangnya hanya sebagai suatu hal yang bersifat derivative ( semata – mata simbolik). Ini tergantung interpretasi setiap orang dalam memahami makna Slametan. Slametan terdiri dari makna – makna yang berbeda – beda. Ini hanyalah persoalan perbedaan interpretasi saja. Ada beberapa interpretasi/ cara pandang dalam memahami makna Slametan. Ada yang menginterpretasikan Slametan sebagai perangkat emapat-saudara, sebagian mereka yang lain memandangnya sebagai empat langgan, dan sebagian yang lainnya memandangnya sebagai empat unsur.
Penting atau tidaknya Slametan tergantung kepada apa dan bagaimana peserta Slametan menggunakan konsep- konsep kunci yang sebagian besar berasal dari Islam. Terdapat konsepsi yang salah mengenai ragam jenis Slametan. Misalnya Slametan pengeling-eling: hari ketika seseorang meninggal yang diselamati setiap tahun, Slametan untuk orang meninggal yang disebut tradisi Slametan kematian pada hari ke-7, 40, 100, atau 1000 (“kirim doa” kata orang Jawa Medan), Slametan Penanggalan di antaranya: Slametan suranan, muludan, ruwahan, sedekah apem, dan sedekah bumi; bedah tanah, dan Sholawatan. Diantara Slametan – Slametan di atas bagi sebagian Orang Jawa berdasarkan dalam buku variasi agama di Jawa merupakan suatu hal yang keliru karena Slametan itu sebenarnya hanya ditujukan kepada orang atau suatu keadaan yang masih hidup dan berlangsung yang butuh untuk diselametin atau keinginan mencapai keadaan yang sejahtera.
Kaitan Slametan dengan ajaran agama Islam.
Setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil. Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348, dalam www.muslim.com)
Sebuah tradisi kerap dijadikan sebuah tuntunan yang wajib dilaksanakan karena di dalamnya terdapat setidaknya walaupun sedikit adalah perintah Tuhan yang tertuang dalam sumber hukum agama, khususnya agama Islam (dalam kaitannya dengan tradisi Slametan ini). Tradisi Slametan merupakan salah satu wujud tradisi budaya manusia yang dijalankan dan merupakan dogma bagi masyarakat Jawa sebagai tuntunan dari ajaran agama.
F. Metode Penelitian
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan dengan melihat data statistik dan pengetahuan peneliti mengenai keberadaan mayoritas Orang Jawa di Kabupaten Deli Serdang. Menimbang keberadaan Desa Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang mudah untuk dijangkau, maka dari itu peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai tradisi Slametan ini pada Orang Jawa di daerah yang dimaksud.
Tembung adalah salah satu desa di kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia. Berdasarkan data wikipedia tahun 2000, jumlah penduduk Desa Tembung adalah 24.832 jiwa.
2. Penentuan Informan
2.1. Sumber data dari informan
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan informan kunci yang dapat dijadikan sebagai sumber data utama. Informan ini diambil dari
(1) Ketua Persatuan Keluarga Jawa (PKJ) di Desa Tembung ini , dimana sekretariatnya terdapat di pasar X Tembung, perbatasan Kec.Bandar Khalifah
(2) Masyarakat pelaku tradisi ritual,
(3) Masyarakat Desa Tembung dan sekitarnya
(4) Perangkat Desa Tembung.
Adapun kriteria informan yang dijadikan sumber data antara lain:
(1) Memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti;
(2) Memiliki usia telah dewasa;
(3) Sehat jasmani dan rohani;
(4) Bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan pribadi untuk menjelekkan orang lain;
(5) Memilikipengetahuan yang luas mengenai tradisi Slametan
Sumber data ini didapatkan dengan cara wawancara dan observasi.
2.2 Sumber data rekaman dan foto
Sumber data rekaman dan foto berupa dokumentasi yang didapatkan pada prosesi - prosesi upacara Tradisi Slametan dan pada saat wawancara dengan informan.
3. Teknik Pengmpulan Data
Pengumpulan data menggunakan teknik participant observation. Pengamatan berpartisipasi dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan berpartisipasi pada saat penyelenggaraan tradisi Slametan. Pengamatan telibat dibantu pendokumentasian melalui foto. Melalui pengamatan terlibat demikian, dimaksudkan agar peneliti mudah melakukan wawancara secara mendalam. Dalam wawancara, peneliti menggunakan bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Oleh karena, ada hal-hal dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus diungkap menggunakan bahasa Jawa. Hasil wawancara yang berbahasa Indonesia selanjutnya ditranskrip, adapun yang berbahasa Jawa dialihbahasakan kedalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa deskripsi mendalam terhadap tradisi Slametan. Dalam kaitan ini konsep yang telah ada diterapkan ke dalam realitas fenomena sosial budaya kemudian fenomena sosial budaya ditafsirkan atau dipahami. Pada awalnya penelitian ini menggunakan pengamatan terkendali. Artinya Observant sadar bahwa ia sedang diamati. Kemudian karena sudah berbaur maka Penelitian ini menggunakan pengamatan terlibat, kemudian secara emik menanyakan kepada pendukung perihal tradisi Slametan untuk mengungkapkan makna dan interpretasi mereka terhadap Slametan. Cara yang digunakan untuk melakukan pengamatan ini berstruktur dan non berstruktur. Artinya peneliti melakukan kombinasi dalam menganalisis data. Dalam suatu interview, terkadang peneliti menggunakan konsep yang sudah direncanakan/distruktur, dan terkadang tanpa menggunakan konsep / belum direncanakan.
Proses analisis data dilakukan terus-menerus baik di lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan, mengkelompokan, memberi kode, dan mengkategorikan data. Setelah itu dicari tema-tema budaya yang berkaitan dengan fokus penelitian. Fokus penelitian ini, diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya.
Dalam analisis ini yang berbicara adalah data dan peneliti tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil pemahaman dari interpretasi informan terhadap simbol ritual. Dengan cara ini akan diperoleh interpretasi Slametan pada masyarakat yang diteliti secara objektif..
oleh : Ayu Febryani
* merupakan mahasiswa program studi pendidikan antropologi FIS-Unimed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar