Rabu, 13 Juli 2011

PROPOSAL : PERSEPSI PEREMPUAN ACEH TERHADAP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KHUSUS DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Aceh merupakan wilayah yang kerap terjadi konflik. Konflik ini telah berjalan lebih dari 20 tahun. Dan perempuan Aceh merupakan korban utama dari konflik yang berkepanjangan ini. Sejak Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sampai pada diberikannya keleluangan menjalankan otonomi daerah khusus, perempuan Aceh tetap menjadi objek dari kebijakan – kebijakan yang diberlakukan pemerintah Aceh.
Budaya patrilineal yang memosisikan laki – laki sebagai pemegang kekuasaan mengakibatkan banyaknya peraturan atau kebijakan yang dihasilkan berasal dari pola piker patrilineal, sehingga wajah pemerintahan dan perpolitikan menjadikan sosok perempuan sebagai objek utama dari pelaksanaan peraturan yang dibuat dalam kerangka berpikir patrilineal. Perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua. Gender menyebabkan suatu ketidakadilan bagi kaum perempuan aceh. Lingkaran adapt istiadat dan keluarga juga menempatkan perempuan terpenjara oleh adapt dan kebiasaan yang dibuat oleh suatu masyarakat tertentu. Padahal secara tertulis melalui UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik dan UU No.10 tentang pemilu telah mensahkan keterwakilan wanita di dunia perpolitikan sebesar 30 %. Namun sepertinya idealita jauh dari realita. Secara tertulis memang wanita diizinkan untuk berpartisipasi dalam dunia politik, akan tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut sangat jauh, ini terlihat dari minimnya partisipasi wanita di ppemerintahan. Sejak masa konflik hingga perdamaian terjadi, perempuan Aceh tetap menjadi salah satu kelompok objek korban terbesar dari dampak ini. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Ini terlihat dari kebijakan – kebijakan yang dibuat dalam otonomi daerah khusus. Salah satunya tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, membuat kebijakan ini berdampak buruk terhadap peran perempuan Aceh.
Penelitian ini mencoba melihat persepsi perempuan aceh terhadap sistem pemerintahan khusus Aceh melalui pelaksanaan otonomi daerah khusus yang berlaku di Aceh. Otonomi daerah khusus yang diharapkan mampu menjadikan perdamaian di Aceh terus berlanjut, ternyata malah menjadikan peran kelompok perempuan mengalami konflik identitas diri dengan identitas keperempuananya.

B. PEMBATASAN MASALAH
Setiap manusia apapun gendernya memiliki hak yang sama dalam mengekspresikan dirinya sesuai dengan keinginan. Oleh karena itu sistem dalam pemerintah juga harus mendukung tercapainya kesetaraan hak antara laki – laki dan perempuan. Namun, sepertinya kenyataan yang berbeda terjadi pada pelaksanaan sistem pemerintahan khusus Aceh melalui pelaksanaan otonomi daerah khususnya. Perempuan dimarginalkan dengan kebijakan – kebijakan yang diberlakukan berdasarkan pola pikir laki – laki. Perempuan juga merupakan penerus generasi bangsa, bagaimana mungkin Negara dapat berkembang dengan baik sementara masih ada golongan rakyatnya yang dimarginalkan dan bagaimana pancasila sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terealisasi dengan baik apabila masih ada golongan rakyatnya yang disubordinasi dan tidak diberikan kebebasan dalam menyuarakan keinginannya. Oleh karena itu menarik kiranya untuk mengetahui persepsi perempuan tentang dirinya dan identitas keperempuanannya. Dengan demikian hal – hal terkait kebijakan atau peraturan otonomi daerah khusus yang tidak sesuai dengan HAM dapat diketahui.

C. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana persepsi perempuan Aceh terhadap dirinya dan identitas keperempuannya terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah khusus?
b. Hal – hal apa saja yang menyebabkan sistem pelaksanaan otonomi daerah khusus Aceh cenderung menjadikan perempuan sebagai objek utama yang harus diatur?


D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi perempuan aceh terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah khusus dan untuk mengetahui hal – hal apa saja yang menyebabkan sistem pelaksanaan otonomi daerah khusus Aceh cenderung menjadikan perempuan sebagai objek utama yang harus diatur.

E. MANFAAT PENELITIAN
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi beberapa pihak yang terkait.
a. Manfaat Akademis
1. Sebagai kontribusi positif bagi para akademisi khusunya penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang persepsi perempuan aceh terhadap pelaksanaan otonomi daerah khusus di nanggroe aceh Darussalam.
2. Pengetahuan terhadap akademisi dalam memberikan sumbangan terhadap kemajuan bidang hukum nasional terkait dengan pemberlakuan Syariat Islam dalam pelaksanaan otonomi daerah khusus di PNAD
3. Penelitian ini diharapkan akan membawa perkembangan terhadap dunia ilmu pengetahuan (intelektual) khususnya dalam bidang hukum. Karena dengan penelitian ini, akan semakin menambah referensi pengetahuan.
4. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi stimulant bagi akademisi yang lain, sehingga diharapkan nantinya akan lebih berkembang mengenai tulisan-tulisan yang membahas lebih lanjut mengenai Pelaksanaan otonomi daerah dan kebijakannya
c. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah PNAD dalam penyusunan peraturan daerah (qanun) khususnya dalam bidang hukum pidana yang ditangani oleh Mahkamah Syari’ah.
2. Penelitian ini diharapkan memberikan solusi atau paling tidak memberikan satu masukan wacana tentang perempuan Aceh dan pelaksanaan otonomi daerah khusus di PNAD
3. Dengan mengetahui persepsi perempuan aceh terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah khusus dan hal – hal yang menyebabkan sistem pelaksanaan otonomi daerah khusus Aceh yang cenderung menjadikan perempuan sebagai objek utama yang harus diatur, maka dapat dilakukan suatu usaha pencegahan agar pelaksanaan otonomi daerah khusus terhadap perempuan Aceh tidak menimbulkan konflik dan diskriminasi pada pihak perempuan.

BAB II
KAJIAN TEORI

a. Pengertian Persepsi
Kata persepsi memiliki beberapa makna, berikut dikemukakan beberapa pengertian tentang persepsi. Sarwono ( 1997 : 94 dalam http://chemistry-fun-anime.blogspot.com/2009/06/kualitatif.html) mengungkapkan bahwa “persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, perabaan dan sebagainya ) “. Persepsi merupakan suatu proses yang terjadi pada seseorang yaitu proses memahami atau memberi makna terhadap setiap informasi yang diterima oleh seseorang melalui alat indra, dan selanjutnya seseorang mempersepsi atau memahami informasi yang mereka terima. Berkaitan dengan pengertian persepsi, Gibson (dalam Andrew, 1983; 74) mengungkapkan “Perception is a proses by which the brain selects, organize and interprets the sensation”. Penjelasan ini menunjukkan bahwa fungsi dari persepsi adalah untuk membantu orang memahami setiap informasi yang datang dari luar melalui indera secara logis dan teratur.
b. Otonomi Daerah Khusus
Otonomi Daerah Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicetuskan dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus kemudian disusul Pasal 25 – Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional ternyata telah membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pelaksanaan Syariat Islam dalam wujud peradilan syariah di Aceh mempunyai sejarah yang panjang. Pada zaman Kerajaan Aceh kekuasaan Peradilan dipegang oleh Qadli Malikul ‘Adil (seperti Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi bidang peradilan) yang berkedudukan di ibu kota kerajaan. Di masing-masing daerah Uleebalang terdapat Qadli Uleebalang yang memutuskan perkara-perkara dalam daerahnya. Keputusan Qadli Uleebalang, dapat dibanding kepada Qadli Malikul ‘Adil. Keputusan Qadli Malikul Adil merupakan keputusan terakhir yang harus dijalankan. Pada zaman Hiindia Belanda, untuk daerah Aceh, khusus untuk bumiputera asli telah diundangkan Ordonansi 17 Juni 1916 Stbl. 1916 Nomor 432 jo. 435 yang beberapa kali sudah diubah dan terakhir dengan Ordonansi tahun 1930 Stbl. Nomor 58. Saat Jepang berkuasa, maka pengadilan Hindia Belanda ditutup, perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja yang berlangsung sampai bulan Mei 1942. Kekuasaan peradilan dilakukan oleh Gunpokaigi, Gunritugaiki, Gunsei Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.

Pada masa kemerdekaan, dalam upaya melaksanakan syariat Islam, melalui lembaga peradilan yang mandiri dan berkuasa penuh, Gubernur Sumatera melalui surat kawat nomor 1189, tanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada Residen Aceh untuk membentuk Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah). Keadaan ini berlangsung sampai dengan pembubaran Propinsi Aceh pada tahun 1950 yang berlanjut dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Darurat 1951 yang intinya membubarkan semua Peradilan Swapraja dan meleburkannya ke dalam Pengadilan Negeri. Keadaan itu berakhir setelah pada bulan Agustus 1957, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Aceh, serta susunan dan kewenangannya. Akan tetapi Peraturan Pemerintah ini menyisakan masalah yaitu kompetensi absolut yang cenderung mengambang putusan Pengadilan Agama hanya dapat dijalankan setelah memperoleh pengukuhan dari Pengadilan Negeri dan yang menjalankannya pun adalah Pengadilan Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang mencabut peraturan tersebut, justru menguatkan keadaan tersebut untuk seluruh Indonesia.

Setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, terdapat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/Missi/1959. Dengan keputusan ini, Propinsi Aceh mendapat sebutan baru, yaitu sebagai Daerah Istimewa Aceh. Akan tetapi keistimewaan ini seperti terhapus oleh Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU Nomor 18 Tahun 1965), karena menyamakan otonomi yang diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh dengan otonomi yang diberikan kepada semua daerah Indonesia lainnya. Lahirnya, Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 tentang Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, tidak banyak membantu karena dimungkinkannya campur tangan badan eksekutif dalam peradilan.

Pada masa Orde Baru, lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, namun tidak menyebutkan status keistimewaan Aceh. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh yang dibuat tahun 1967, mendapat penolakan oleh pemerintah pusat pada waktu itu. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 14 tahun 1970 relatif lebih membantu pelaksanaan syariat Islam dalam wujud peradilan meskipun belum maksimal.

Akhirnya, Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah memberikan harapan bagi masyarakat Aceh untuk dapat menyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada daerah ini sejak tahun 1959, yaitu dalam bidang-bidang:
(a) penyelenggaraan kehidupan beragama;
(b) penyelenggaraan kehidupan adat;
(c) penyelenggaraan pendidikan; dan
(d) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Inti dari penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.

Hal tersebut diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk terlaksananya Syariat Islam lebih besar lagi karena memungkinkan pembentukan Peradilan Syariat Islam di Aceh. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan (2) Undang-undang tersebut, peradilan Syariat Islam di Aceh sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariah dengan kewenangannya didasarkan atas Syari'at Islam yang diatur lebih lanjut dengan Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mengeluarkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 -tentang Peradilan Syariat Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002/7 Sya'ban 1423 H.

Qanun Nomor 10 Tahun 2002 itu mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 4 Maret 2003 (1 Muharram 1424 H). Pada hari itu juga, diresmikan pembentukan Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Aceh oleh Menteri Agama RI sekaligus dilakukan pelantikan Ketua-Ketua Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota dan Ketua Mahkarnah Syar'iyah Provinsi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan disaksikan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Dalam Negeri dan beberapa orang pejabat tinggi lainnya dengan mengambil tempat di Gedung DPRD Provinsi Aceh di Banda Aceh. Dalam perkembangannya, lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman semakin memperkuat keberadaan peradilan syariah di Nanggroe Aceh Darussalam.




BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan objek kajian penelitian berupa pustaka-pustaka yang ada, baik berupa buku-buku yang bersangkutan, majalah, dan peraturan-peraturan yang mempunyai korelasi terhadap pembahasan masalah, sehingga penelitian ini juga bersifat penelitian pustaka (library research). Di samping hal itu juga beberapa informasi yang diperoleh dari berbagai sumber media, baik surat kabar maupun media elektronik yang kesemuanya itu diterapkan dengan interpretasi yang diterapkan dalam metode analisis data dan Studi Kritis Terhadap Persepsi Perempuan Aceh Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam.

B. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian yang dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data library research (studi pustaka). Karena itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: pertama, bahan primer meliputi keseluruhan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah , Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh , UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik,UU no.10 tahun 2008 tentang pemilu , UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Syari’ah Provinsi di PNAD, dan UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat Qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Kedua,. bahan sekunder yang bersifat primer, yaitu bahan-bahan pustaka, seperti buku-buku yang berisikan pendapat para pakar atau praktisi atau hal-hal yang berkaitan erat dengan permasalahan yang sedang dikaji. Ketiga, bahan-bahan sekunder berupa bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian penelitian. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun ketajaman analisis.

C. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis (analisis isi). Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis tentang persepsi perempuan Aceh terhadap pelaksanaan otonomi daerah khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.



























DAFTAR PUSTAKA

http://zhafiraloebis.multiply.com/journal/item/13
http://zhafiraloebis.multiply.com/journal/item/13
http://kajian-muslimah.blogspot.com/2005/09/peran-politik-wanita-dalam-sejarah.html
http://chemistry-fun-anime.blogspot.com/2009/06/kualitatif.html
Listiani,dkk.2002.Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan Kondisi Nyata yang Terjadi di Lapangan.Medan:Bitra
Hakeem,Ali Hosein.2005.Membela Perempuan.Jakarta:Al Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar