Rabu, 13 Juli 2011

STREOTIPE ETNIS DAN KEARIFAN LOKAL PARA PENJUAL DAN PEMBELI DALAM AKTIVITAS EKONOMI DI PASAR TRADISIONAL


A.PENGERTIAN STEREOTIPE, STEREOTIPE ETNIS, DAN KASUS
Stereotipe merupakan salah satu sumber ketegangan antarsuku bangsa di Indonesia, yang masing – masing mempunyai latar belakang lingkungan alam dan sosial – budaya sendiri. Water Lippman sampai saat ini dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam bukunya, Public Opinion, terbit tahun 1922. Sejak itulah stereotipe mendapatkan tempat dalam literatur ilmu – ilmu sosial, baik sebagai konsekuensi maupun sebagai peramal tingkah laku manusia. Sampai tahun 1968, Cauthen dan kawan – kawan telah menemukan lebih dari 200 artikel tentang stereotip yang dipublikasikan sejak tahun 1926. (Cauthen, dkk., 1971 :120 dalam Warnaen, 2002 : 116 - 117).
Berdasarkan Lippman (1922 : 1 dalam Warnaen, 2002 : 117), stereotipe adalah gambar di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali dengan segera.
Stereotipe Etnis adalah kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat – sifat khas dari berbagai golongan etnis, termasuk golongan etnis mereka sendiri. Ada empat unsur penting yang terkandung dalam defenisi ini, yanh perlu di jelaskan lebih lanjut yakni pertama, stereotip termasuk kategori kepercayaan. Kedua, stereotip dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis. Sikap seseorang terhadap suatu golongan etnis, yang ditentukan oleh jumlah nilai dari sifat – sifat khas yang diatribusikan pada golongan etnis itu. Jadi, bila unsur konsensus diabaikan, stereotip hanyalah atribusi sifat – sifat khas, sedangkan sikap merupakan nilai dari sifat – sifat khas yang diatribusikan. Ketiga, sifat – sifat khas yang diatribusikan ada yang esensial dan ada yang tidak. Keempat, golongan etnisnya sendiri juga bisa dikenai stereotip yang dinamakan oto-stereotip.
Hal ini juga kerap terjadi dalam aktivitas jual beli dipasar yang mana pedagang cenderung bersikap subjektif dan memandang pembeli A dianggap lebih banyak melariskan dagangannya dibandingkan pedagang B. Hal ini mengakibatkan pedagang lebih dahulu memberi pelayanan kepada etnis yang dianggapnya akan memberi banyak keuntungan padanya. Seperti contoh kasus di pasar tradisional Pulo Brayan, ada pedagang beretnis batak sebagai penjual dan terdapat dua pembeli yang pertama beretnis Thionghoa, dan yang kedua beretnis Jawa. Pedagang terrsebut berpikir bahwa orang Thionghoa akan lebih banyak melariskan dagangannya dibandingkan orang Jawa. Padahal persepsi seperti itu tidak selamanya benar; ternyata pembeli etnis Thionghoa hanya membeli seperempat lebih sedikit dagangannya dibbanding etnis Jawa yang lebih banyak membeli barang yang dijualnya. Pandangan atau pemikiran sementara inilah yang terdapat pada pemikiran pedagang sehingga melahirkan sikap subjektif terhadap padangannya dengan orang lain.
Begitu juga sebaliknya dengan pemikiran sementara pembeli terhadap ragam etnis pedagang yang berjualan di pasar tradisional. Ada anggapan bahwa lebih baik membantu teman sendiri (dalam hal ini satu sub dalam etnis tersebut) dibanding membantu orang lain. Dalam kasus yang terjadi di lapangan terlihat bahwa ada pembeli yang membeli barang dagangan sesuai kebutuhan yang dicarinya dan tidak mempertimbangkan siap penjualnya , akan tetapi ada juga pembeli yang membeli barang berdasarkan siapa penjualnya. Orang batak yang yang dianggap kasar akan cenderung disegani oleh orang Jawa yang pada akhirnnya akan membuat pembeli Etnis Jawa mencari pedagang yang dirasanya akan memberikan pelayanan yang lebih baik (lembut). Namun Stereotipe etnis ini akan berubah menjadi stereotipe peranan dan mengubah persepsinya terhadap individu suatu etnis ketika terjadi keintiman atau kedekatan dan kepahaman atas pribadinya, sehingga ia memandangnya bukan seorang yang beretnis tetapi sebagai teman atau pelanggan yang mengerti ia.

B.PASAR TRADISIONAL DAN KEARIFAN LOKALNYA
Pasar merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam institusi ekonomi. Pasar muncul sebagai pusat tukar-menukar, perdagangan sebagai kegiatan tukar menukar yang sebenarnya, dan uang sebagai alat penukar. Pasar adalah pranata pembangkit sedangkan perdagangan dan uang adalah fungsi-fungsinya. Tukar-menukar atau singkatnya pertukaran, perdagangan, uang dan pasar sebagai suatu sistem membentuk suatu keseluruhan yang tidak terpisahkan. Pasar adalah sebuah tempat bertemunya penjual dan pembeli yang melayani transaksi jual-beli.
Secara harfiah kata pasar berarti berkumpul untuk tukar-menukar barang atau jual beli barang. Kata pasar diduga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Pancawara. Yang paling utama dalam kegiatan pasar adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling bertemu muka dan berjualan menjadi semacam kegiatan sosila. Istilah pasar tradisional digunakan untuk menunjukkan tempat bagi perdagangan pasar yang asli setempat yang sudah berlangsung sejak lama. Suatu pasar yang baru dibangun misalnya dapat juga dimasukkan dalam kategori pasar tradisional karena perdagangannya menggunakan cara-cara tradisional. Hal yang menarik dari pasar tradisional bahwa pasar tradisional menyangkut hajat hidup masyarakat banyak dan mayoritas adalah masyarakat kecil. Jadi dapat disimpulkan bahwa pasar tradisional mempunyai nilai strategis yang tinggi dalam memelihara keseimbangan pembangunan wilayah dan pengendali roda perekonomian.
Pasar tradisional bukan sekedar sebagai tempat jual beli semata, namun lebih dari itu pasar terkait dengan konsepsi hidup dan sosial budaya. Pasar tidak semata-mata mewadai kegiatan ekonomi, akan tetapi pelaku juga dapat mencapai tujuan-tujuan lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasar tradisional dapat menjadi wadah kegiatan ekonomi, interaksi sosial, dan sarana rekreasi baik suasana pasar maupun produk dagangan yang khas. Sisi kelabu yang tidak dapat diingkari, daya tarik pasar tradisional menurun akibat buruknya kondisi serta kelengkapan sarana dan prasarana pasar tradisional, keadaan pasar yang sangat padat dengan penataan barang dagangan yang meluber dari petak jualan, ruang gerak koridor yang sangat terbatas, suasana yang sumpek dan kumuh, yang semua bertolak belakang dengan keadaan pasar modern. Pasar tradisional perlu dilestarikan karena makin melemahnya penghargaan dan kebanggaan masyarakat terhadap hal-hal yang bernuansa tradisional, seperti seni tradisional, pakaian tradisional, bangunan tradisional bahkan pasar tradisional merupakan realita yang di hadapi masyarakat saat ini.
Frekwensi pertemuan antara pedagang dengan pembeli yang setiap hari membentuk satu pola hubungan yang intens terhadap pelaku-pelaku pasar, seperti hubungan antara pedagang dengan pelanggan atau pembeli. Pelanggan tidak hanya membeli barang atau mencari barang yang dibutuhkan saja, namun juga dapat bertukar informasi baik mengenai harga barang di pasar, berita keluarga, isu selebritis, bahkan perjodohan di kalangan pembeli dengan penjual pun menjadi perbincangan yang hangat.
Pasar mengatur kehidupan sosial, termasuk ekonomi, secara otomatis. Karena pencapaian kepentingan pribadi dan kesejahteraan pribadi dan kesejahteraan individu akan membawa hasil yang terbaik, tidak hanya mereka sebagai pribadi tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan. Mekanisme ini dipandang oleh Adam Smith sebagai “tangan-tangan tersembunyi” (Invisible Hand). Dengan kata lain, seperti kata Levacic (1991), karakteristik yang penting dari pasar, dipandang sebagai salah satu mekanisme yang bekerja dalam kehidupan sosial, adalah pertukaran bebas terhadap barang dan jasa antara dua partai pada suatu harga yang disepakati. Dalam kenyataannya, kehidupan sosial, termasuk ekonomi, tidak hanya diatur oleh mekanisme pasar, tetapi juga oleh pengaturan Negara dan mekanisme sosial budaya.
Pasar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu tempat usaha bagi pedagang untuk menjajakan dagangannya yang ditandai dengan adanya jual-beli secara langsung yang melibatkan lebih banyak pedagang yang saling bersaing, masih menggunakan manajemen sederhana, terdapat proses tawar-menawar, dan menjual bahan pokok kebutuhan sehari-hari.
Eksistensi pasar tradisional sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan masyarakat perkotaan. Pasar tradisional merupakan warisan budaya bangsa, tempat berlangsung aktivitas jual-beli yang kaya nilai-nilai kearifan lokal, seperti keramahan masyarakat dalam bertegur sapa, ramainya suasana tawar menawar untuk mencapai kesepakatan harga, sehingga kita rasakan interaksi manusia lebih hidup ketika berada didalamnya. Namun, berkembangnya sebuah kota yang hanya dilandasi kepentingan ekonomi, membawa arah pembangunan yang mekanistis dan kota menjadi tidak manusiawi, imbasnya terlihat pada pengelolaan pasar tradisional yang semakin terpinggirkan oleh pasar modern, perdagangan hanya sekedar menjadi tempat jual-beli, dan kita terjebak dalam modernisasi yang mematikan budaya lokal.
Kasus yang tengah marak terjadi di belahan dunia Indonesia ini adalah penggusuran terhadap pasar tradisional. Pemerintah menanggap para pedagang tidak tertib dalam berjualan sehingga kerap mengakibatkan kemacetan jalan atau keadaan sampah yang berserakan dimana – mana. Seperti kasus pajak pulo brayan di jalan Yos Sudarso yang tempo hari mengalami kebakaran dan hampir menghabiskan ruko – ruko para pedagang. Dan kasus pembangunan mall pada kota-kota di Indonesia yang terlalu boros dan tidak sesuai kebutuhan, ini menandakan kegagalan pemerintah dalam mewujudkan ruang publik yang dapat memenuhi tujuan sosial dan lingkungan. Ketika pasar tradisional dikonversi menjadi pasar modern berupa mall, maka pasar tersebut seperti membentuk kelas baru, tidak semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya dan nilai – nilai kearifan lokal pun menjadi hilang sebab tidak ada ruang publik seperti yang dapat dirasakan ketika berbelanja di pasar tradisional.
Kebijakan pengelolaan pasar tradisional di beberapa kota tidak sepenuhnya menuntaskan masalah ini. Di kota medan sekalipun terdapat kegagalan pengelolaan pasar dimana ketika penertiban pasar terjadi masih terdapat pedagang yang kembali berjualan di trotoar jalan, muncul aksi protes sebagai bentuk ketidakpuasan pada kebijakan penertiban yang sangat merugikan pedagang, banyak pedagang belum tahu kemana ia bisa berjualan dan kembali mendapat pelanggan.
Pentingnya dialog harus dilakukan antara pihak pedagang dengan pemerintah agar konsensus atau kesepakan terjadi sehingga tidak ada salah satu pihak yang mengingkari kesepakatan yang terjadi. Sseperti contoh di Kota Yogyakarta salah satunya yang cukup berhasil dalam mengatasinya. Di kota ini, pemerintah mencoba memberikan solusi bagi pelestarian pasar tradisional, misalnya dengan melarang lokasi toko modern berdekatan dengan pasar tradisional, pemerintah juga merelokasi dengan layak, pada penataan pasar Klithikan, pedagang diberi bantuan modal dan pinjaman lunak untuk mengembangkan usaha, dan cukup banyak pasar tradisional yang bisa bertahan. Solusi lain yaitu mengintegrasikan pasar tradisional dan toko modern, seperti pada pedagang kaki lima di Malioboro dan pasar Beringharjo dapat berkolaborasi dengan pasar modern membentuk objek wisata yang ramai atau pasar tradisional central kota medan (sambu) yang berdekatan dengan Medan Mall. Dalam penataan pasar tradisional, kuncinya ialah membuka dialog dengan pedagang pasar, dalam dialog itu pedagang diingatkan pada kepentingan umum yang diusung melalui kebijakan penataan, misalnya kepentingan pejalan kaki di atas trotoar dan kenyamanan pemilik rumah yang digunakan oleh para pedagang untuk berjualan.
Berdasarkan contoh yang telah di paparkan pada pasar di Yograkarta, sudah semestinya kita sadar bahwa dalam mengelola pasar tidak hanya mengutamakan penertiban dengan mengandalkan kekuatan fisik Satpol PP, tapi juga harus ada proses dialogis antara pejabat yang berwenang dengan para pedagang. Di satu sisi, proses inilah akan ada nilai pendidikan untuk mengubah pola pikir pedagang tentang kepentingan umum yang lebih besar, di sisi lain, kesediaan para pejabat untuk berdialog, akan menambah kepercayaan akan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah mereka.
Pengelolaan pasar tradisional memang diarahkan menjadi bagian kota yang bersih, rapi, dan nyaman, baik bagi pedagang, pembeli, maupun penduduk disekitar pasar. Namun, tidak harus merubah bentuk pasar tradisional menjadi seperti pasar swalayan, apalagi sampai mengubah sistem jual beli menjadi perdagangan ala hypermart. Pasar seharusnya dibangun layaknya pasar tradisional, penataan diutamakan untuk mengubah kesan kumuh dan menjadikannya tertib, misalnya pengelolaan sampah, sirkulasi, parkir, dan perlu dibentuk paguyuban pedagang untuk mengelola pasar tersebut secara mandiri dan bertanggung-jawab.
Pembiayaan menjadi faktor penting dalam melestarikan pasar tradisional, sumber dana yang digunakan dapat melalui sumber dana internal dari penerimaan yang digali/ diterima dari potensi di pasar tradisional, sesuai alat produksi yang tersedia. pasar seperti dari biaya pelayanan dan perijinan yang ditarik dari pedagang, maupun sumber dana eksternal melalui kerjasama dengan pihak ketiga, perbankan, Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), Rekening Pembangunan Daerah (RPD), akhir-akhir ini tengah berlangsung program revitalisasi pasar tradisional yang didanai Kementerian Koperasi dan UKM keseluruhannya berlokasi di perdesaan, dimana proyek itu merupakan kerja sama antara Kementerian KUKM sebagai penyedia dana dan pemda setempat yang menyiapkan lahan seluas 15.000 m2. Kemudian perlu diatur agar pembiayaan pasar setelah direvitalisasi tidak memberatkan pedagang, sehingga pedagang lama dapat kembali menempati pasar dan posisinya tidak terancam oleh pedagang baru, mengingat peran pedagang lama telah merintis usaha dan sistem sejak pasar itu dibangun hingga menjadi ramai.
Akhirnya, pasar tradisional dapat tetap lestari tanpa harus merubah sistem yang telah berlaku didalamnya, tidak memutus keakraban penjual dan pembeli, dan rakyat kecil tetap mendapatkan akses dalam membeli kebutuhan hidup. Perlu kebijakan untuk mengkonservasi pasar tradisional agar tetap eksis ditengah perkembangan kota tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi kerakyatan, sehingga masyarakat akan percaya bahwa masih ada keberpihakan pemerintah pada kebutuhan rakyat kecil disamping kepentingan pemodal, semakin banyak pemerintah bisa mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin manusiawi.

















DAFTAR PUSTAKA
Warnean, Suwarnih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Mata Bangsa (Halaman 116 – 136)
http://metro.kompasiana.com/2011/01/14/konservasi-pasar-tradisional/
http://suar.okezone.com/read/2011/03/06/283/431834/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar